Pembangunan lahan plasma butuh kepastian regulasi. Hingga 2017, lahan plasma yang telah terbangun seluas 623.114 ha dari target 874.398 ha.
Jika merujuk pada Undang – Undang (UU) No 39 Tahun 2014 Pasal 58 UU Perkebunan tentang Kemitraan Usaha Perkebunan ayat 1 bahwa perusahaan perkebunan yang memiliki izin usaha perkebunan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan perusahaan perkebunan.
Bambang, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI menjelaskan bahwa kewajiban pembangunan kebun masyarakat ditetapkan sebesar 20% dari luasan HGU perusahaan. Mekanismenya, saat proses pengajuan HGU selanjutnya perusahaan harus sudah memiliki lokasi yang akan menjadi objek pembangunan kebun rakyat.
“Kami meminta supaya ada kelonggaran. Jadi, HGU diterbitkan dulu, pembangunan kebun rakyatnya nanti. Ini supaya proses penerbitan HGU bisa cepat dan segera,” ungkap Bambang.
Data Ditjen Perkebunan bahwa pembangunan kebun masyarakat yang telah direalisasikan mencapai 623.114 ha dari target 874.398 ha. Pembangunan kebun rakyat wajib dijalankan perusahaan perkebunan swasta maupun BUMN sesuai aturan Permentan No 26 Tahun 2007
Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) Achmad Mangga Barani, menanggapi positif. Aturan yang dikeluarkan pemerintah bermaksud baik yaitu untuk membangun kemitraan dengan masyarakat. Tetapi, pelaksanaan di lapangan masih menimbulkan beberapa kendala dan permasalahan dalam implementasinya. Yang disebabkan masih adanya ketidakpastian hukum, kerancuan dan multitafsir bagi para perusahaan, Gubernur dan Bupati/Walikota serta pemangku kepentingan lainnya.
Menurutnya, kondisi tersebut disebabkan pengaturan dalam regulasi dan/kebijakan yang satu dengan lainnya masih inkonsisten, mekanisme pelaksanaannya belum diatur secara jelas dan tegas, dan perhitungan 20% masih belum jelas sehingga belum terdapat kesatuan pengaturan dan penafsiran yakni apakah perhitungannya berdasarkan dari luasan areal berdasarkan IUP atau HGU atau areal tertanam.
Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat dapat dilakukan melalui pola kredit, bagi hasil, atau bentuk pendanaan lain yang disepakati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak HGU diberikan dan harus dilaporkan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Selanjutnya, Bambang menyampaikan perusahaan yang tidak melaksanakan aturan sesuai UU akan mendapatkan sanksi di antaranya sanksi administratif berupa: denda, pemberhentian sementara dari kegiatan Usaha Perkebunan, dan/atau pencabutan Izin Usaha Perkebunan.
“Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah yang sampai sekarang masih dalam proses penyusunan,” pungkas Bambang.
Untuk itu, Bambang menyatakan Inpres moratorium menjadi penting untuk mendapatkan data luasan lahan tertanam dan kawasan konversi hutan yang bisa dijadikan lahan sawit rakyat.
Senada dengan Bambang, Deputi Bidang Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud mengatakan pemerintah sudah menyiapkan sejumlah aturan untuk memudahkan pelaku usaha perkebunan. Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang moratorium sawit bisa menjadi acuan pendataan lahan perkebunan sawit.
“Inpres akan mempercepat pelaksanaan aturan selama 3 tahun dalam rangka mengevaluasi lahan sawit di Indonesia. “Semuanya kami harmonisasi karena tidak ada yang kontradiktif satu sama lain,” ujarnya.