Rendahnya harga premium minyak sawit bersertifikat karena mekanisme pasar belum berjalan. Tingginya suplai tidak diimbangi serapan permintaan. Intervensi pemerintah di negara pembeli seperti Uni Eropa dapat dilakukan agar permintaan dan harga premium dapat tumbuh.
Data yang dilansir Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) menyebutkan total penyerapan minyak sawit bersertifikat atau dikenal dengan Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) sebanyak 3,4 juta ton di seluruh dunia. Penyerapan ini terdiri dari skema book and claim (via Green Palm) serta segregasi dan mass balance.
Namun, jumlah serapan ini belum mencapai 50% dari total produksi CSPO yang secara global mencapai 11,7 juta ton. Produksi ini dihasilkan 56 perusahaan perkebunan dan 286 pabrik yang bersertifikat.
Tidak maksimalnya jumlah penyerapan mengakibatkan kecilnya harga premium. Data Greenpalm menunjukkan harga premium CSPO mengalami penurunan sepanjang lima tahun terakhir. Harga tertinggi sebesar US$ 13,31 per ton pada April 2010. Nilai ini merosot tajam menyentuh angka US$ 0,99 per ton per 14 Agustus 2015.
Bungaran Saragih, Mantan Menteri Pertanian, menyebutkan usaha penerapan sustainability yang dijalankan petani dan perusahaan seharusnya membawa manfaat kepada mereka. Prinsip sustainability dapat pula memberikan manfaat bagi pihak-pihak di luar mereka. Dalam bidang ekonomi ini disebut positive eksternality.
“Idealnya, konsumen harus mau membayar lebih dibandingkan kepada produk-produk yang tidak melewati proses sustainable (red-berkelanjutan),” tutur Bungaran.
Bungaran menyebutkan seringkali mekanisme pasar ini tidak bisa menyelesaikan masalah harga premium ini. Disinilah pemerintah dapat memainkan peranannya supaya positive eksternality kembali pada produsen. RSPO sebagai lembaga nirlaba tidak bisa sekuat pemerintah untuk menekan pembeli/industri memberikan profik kepada produsen yang menjalankan sustainability.
“Barang yang sustainable itu ada harganya. Pemerintah di negara konsumen CPO semestinya paham mareka dapat manfaat dari produk yang sustainable,” ujarnya.
Menurut Bungaran, kalau permintaan tidak cepat ditingkatkan maka pasar akan jenuh. “Dan RSPO jangan sampai gagal mempercepat proses ini. Sebaiknya dibuat sebuah studi eksternality positive di konsumer dan produser. Jangan sampai willingness to pay tapi tahu manfaat,” kata Bungaran.
(Selengkapnya baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi Agustus-September 2015)