NUSA DUA, SAWIT INDONESIA – Pemerintah Indonesia akan memperkuat diplomasi sawit untuk menghadapi kampanye negatif dan hambatan dagang di negara tujuan ekspor sawit Indonesia.
“Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 12 atau 13 hubungan bilateral perdagangan dengan negara lain,” ujar Mahendra Siregar, Wakil Menteri Luar Negeri RI, dalam Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2019 and 2020 Price Outlook 2019, di Nusa Dua, Jumat (1 November 2019). Kendati demikian, Mahendra tidak merinci jumlah hubungan bilateral yang terkait kelapa sawit.
Ia mengatakan jumlah hubungan bilateral akan ditingkatkan terutama bagi negara yang menjadi tujuan utama ekspor sawit seperti negara Asia Selatan. “Kita ingin mendorong bilateral saling menguntungkan baik perdagangan dan investasi. Untuk itu, pengusaha kita harus siap berinvestasi di luar negeri,” ujarnya.
Mahendra menilai, upaya menuju kelapa sawit yang berkelanjutan melalui ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) harus diakui dan diperhitungkan oleh Uni Eropa terutama dalam tinjauan kriteria ILUC yang akan datang. Pemerintah akan mendorong dunia agar melihat aspek “environmental footprint” pada minyak nabati lainnya sebagaimana ditetapkan pada Industri kelapa sawit Indonesia.
Di sisi lain, kredibilitas masalah lingkungan ini dinilai sebagai kedok dari proteksionisme, terutama untuk melindungi dan mempromosikan minyak nabati rapeseed yang tumbuh di Eropa.
“ Kita akan melakukan pendekatan, penjelasan dan inisiatif untuk mendorong terpenuhinya sistem yang mendukung keberlanjutan seluruh minyak nabati dilihat dari semua aspek termasuk aspek SDGs dan sawit bisa menjadi pioneer. Dengan demikian kita bisa menjamin permintaan global secara bertanggung jawab dengan minyak nabati berkelanjutan. Harus dilihat juga minyak nabati lainnya, misalnya penggunaan bahan kimia pada minyak nabati eropa,” kata Mahendra.
Menurutnya, dunia harus melihat sawit secara fair karena sawit bukan semata untuk memenuhi pasar Eropa saja namun juga pasar dunia yang akan tumbuh terus seiring dengan pertumbuhan populasi umat manusia. Kebutuhan akan minyak nabati tersebut harus direspon dengan minyak nabati yang berkelanjutan. Saat ini, sawit menjadi solusi utama sebagai minyak nabati berkelanjutan dimana sawit memiliki produktifitas 6-10 kali lipat lebih besar dengan penggunaan lahan yang lebih efisien dibandingkan dengan minyak nabati dunia lainnya.
Dari sisi kebijakan perdagangan, sistem berbasis aturan perdagangan multirateral perlu ditinjau ulang dan harus mencerminkan kepentingan negara-negara berkembang secara memadai, termasuk dalam hal CEPA Indo-EU. Regionalisme menjadi penting dimana ASEAN dan sekitarnya juga merupakan peluang pasar inti terbesar di dunia