Ini berarti area konsesi itu masih bisa dikatagorikan sebagai kawasan hutan produksi terbatas bertutupan hutan lebat. Bukan seperti pada aturan main konsesi HTI yang hanya boleh pada alang-alang , semak belukar, tanah kosong dengan, kepadatan kayu kurang dari lima meter kubik perhektar dan diameter kayu kurang dari 10 sentimeter. Padahal dalam Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang keutanan pasal 50 ayat (2) disebutkan bahwa setiap orang yang diberikan ijin usaha pemanfaatan kawasan, ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
Dalam kertas pisisi kejahatankehutanan yang dirilis Jikalahari, tiap tahun tutupan hutan di Riau berkurang 160 ribu hektar. Jika pada tahun 1982 luas tuitupan hutan di Riau menjadi angka 6,4 juta hektar, tahun 2005 hutan alam yang tersisa hanya sekitar 2,7 hektar. Begitu berartinya aturan hukum bagi para pemilik konsesi di Riau. Meski sudah melalap kayu-kayu alam bertahun-tahun dan sejumlah pejabat Riau masuk bui lantaran urusan hutan ini, tapi korporasi yang jelas-jelas sudah kesandung hukum, tetap saja beroperasi hingga sekarang.
Lalu siapa yang akan menangung hutang ekologis kerusakan hutan yang dibikin oleh korporasi tadi jika DR.Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr dan DR. Ir. Basuki Waris, MS yang pernah menjadi saksi ahli Polisi Daerah (Polda) Riau semasa Brigjen Sutjiptadi menjadi Kapolda menghitung, kalau duit yang dibutuhkan untuk pemulihan kerusakan lingkungan terhadap lahan seluas 6.808 hektar saja. Sudah mencapai Rp. 93, 49 Trilyun.
Penulis : Abdul Aziz