JAKARTA – SAWIT INDONESIA, Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) memiliki filosofi intensifikasi dimana kunci sukses adalah penggunaan bibit unggul dan pupuk. Untuk itu, petani peserta PSR wajib mengaplikasikan bibit unggul dan pupuk sebagai gerbang utama keberhasilan PSR.
Rekomendasi ini terungkap dalam sesi kelima diskusi virtual mengulas topik Pembahasan Pemilihan Bibit Unggul dan Pupuk pada Program Peremajaan Sawit Rakyat yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Selasa (9 Juni 2020). Sesi ini merupakan rangkaian Diskusi Virtual Percepatan Program Peremajaan Kelapa Sawit Rakyat (PSR) 500.000 Hektar yang dibuat sebanyak sembilan sesi.
Narasumber pada acara sesi 5 ini adalah Taufiq Caesar Hidayat, SP.,M.Sc dari PPKS (Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan), Saistyo Agi Hendiwiyarto dari PT Dami Mas Sejahtera dan Syaiful Bahri Panjaitan, SP., M.Agric.Sc (PT Wilmar Group).
Ketua Umum DPP APKASINDO, Ir. Gulat Manurung, MP., C.APO, menuturkan PSR menjadi penting untuk dilaksanakan guna mewujudkan keberlanjutan dari perkebunan sawit serta industri turunan sawit. Program PSR ditargetkan mencapai 500 ribu ha dalam tiga tahun mendatang. Namun, sejak 2016 hingga akhir 2019, realisasi PSR baru mencapai 98.869 ha dengan bantuan dana yang disalurkan BPDPKS sebesar Rp 2,47 triliun.
“Sesuai arahan Presiden, program PSR harus dilakukan untuk 500 ribu ha dalam waktu tiga tahun. Saya ingin agar peremajaan menjadi fokus semua Pihak terkait, tidak boleh dilakukan dengan cara biasa harus dengan cara yang luar biasa (diskresi), karena PSR ini kategori Program Strategis Presiden dan sangat seksi dimata dunia internasional. Seksi karena perkebunan kelapa sawit di Indonesia 41% dikelola oleh Petani yang tentunya jika PSR ini berhasil maka dampaknya akan luar biasa dalam capaian 17 item SDG’s.
Namun lebih dari itu yang dibutuhkan untuk percepatan program PSR adalah sosialisasi yang masif dan intensif ke petani dan pendampingan secara komprehensif bagi petani mulai dari tahap pengajuan persyaratan hingga implementasi peremajaan di lapangan.
“Petani harus didampingi mulai dari memenuhi persyaratan, input persyaratan, penatalaksanaan peremajaan dan setelah dana hibah diperoleh Petani, bagaimana petani mulai melakukan persiapan tanam (P0), menanam dengan bibit bersertifikat unggul sampai ke Tahap P3 (Perawatan Tahun ketiga menjelang panen).
“Jadi dapat dikatakan bahwa bibit unggul dan pupuk pintu gerbang utama keberhasilan PSR, jika kita gagal mengawal keunggulan bibit sawit yang akan digunakan Petani PSR, maka akan sia-sialah semua,” ujar Gulat.
Gulat kemudian merinci hubungan bibit unggul dengan pupuk adalah bahwa bibit unggul sangat respon dengan pemupukan, dimana semakin meningkat dosis pupuk (sampai dosis tertentu) maka tanaman yang bersifat unggul tersebut akan meresponnya dengan meningkatnya produksi TBS. Berbeda dengan bibit yang tidak unggul, berapa pun dosis pupuk, produktivitasnya akan segitu-gitu juga, tetap tidak meningkat (tidak direspon). Dua hal ini penting untuk diberitahukan ke Petani supaya jangan salah melaksankan aspek Good Agriculture Practices (GAP).
“Aplikasi pupuk harus mengikuti rekomendasi, tidak boleh berdasarkan rekomendasi pada umumnya, harus sesuai dengan spesifik lokasi PSR, khususnya Ketika tanaman sudah memasuki masa berproduksi. Tidak sama jenis pupuk untuk sawit dengan tanaman lainnya, jangan terpengaruh dengan harga murah, tetapi cenderung berpatokan kepada 5 konsep pemupukan Apkasindo, 5T (tepat waktu, tepat jenis, tepat dosis, tepat cara, dan tepat kualitas),” jelasnya.
Bibit unggul adalah ditandai dengan histori hasil persilangan antara pohon induk (tetua) Dura dengan Pisifera (P) yang sama-sama memiliki keunggulan masing-masing akan menghasilkan tanaman yang Hibrid (F1) yang dikenal dengan Jenis Tenera (T). Makanya banyak Petani salah kaprah dengan mengutip bibit sawit yang tumbuh dibawah pohon sawit disuatu perkebunan untuk dijadikan bibit tanaman, karena bibit sawit yang tumbuh liar tersebut sudah merupakan bibit F2, illegetim (bibit yang tetuanya tidak memiliki histori keunggulannya), jadi hasil produksi dan rendemennya akan jauh dibawah F1.
Saistyo Agi Hendiwiyarto, MBA Sales & Marketing Manager – PT Dami Mas Sejahtera menjelaskan bahwa secara teori potensi benih sawit dapat mencapai produksi CPO hingga 18 ton per ha per tahun. Tapi ada faktor yang mempengaruhi pencapaian potensi hasil tadi seperti lingkungan, curah hujan, matahari, pengelolaan nutrisi serta penyakit.
“Dami Mas sebagai produsen benih sawit didukung dua lembaga penelitian yaitu SMART Research Institute dan SMART Plant Production and Biotechnology dengan lebih dari 100 orang peneliti,” ujar Saistyo.
Sementara itu, Taufiq Caesar Hidayat, Manager Pemasaran & Logistik/Agronomist Pusat Penelitian Kelapa Sawit, memaparkan memaparkan keunggulan 9 varietas yang dimiliki Lembaga produsen benih yang berlokasi di Medan, Sumatera Utara ini. Varietas turunan Yangambi paling populer di kalangan petani diantaranya DxP Yangambi, DxP PPKS 718, dan DxP PPKS 239.
“Potensi DxP Yangambi mampu menghasilkan produktivitas 39 ton per hektare per tahun. Varietas ini punya berat dan tonase tinggi sehingga diminati petani,” ujarnya.
Syaiful Bahri Panjaitan, SP., M.Agric.Sc, Head of Agronomy Dept Wilmar Group menuturkan pemupukan dimaksudkan untuk memberikan unsur hara yang sesuai diperlukan tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangan serta produksi secara optimal. Itu sebabnya, tujuan produktivitas dalam PSR memerlukan dukungan dari kegiatan pemupukan termasuk produk pupuk berkualitas. Sebagai produsen pupuk, Wilmar memiliki produk pupuk tunggal dan majemuk sesuai kebutuhan petani dan perusahaan perkebunan sawit.
Dalam sesi tanya jawab melalui chat, Fitriansyah, Sekretaris Apkasindo Provinsi Kalimantan Timur mengatakan Petani PSR terkadang bingung bibit dari produsen mana yang digunakan, terkadang dengan waktu yang sudah mepet Petani tidak ambil pusing dengan ketelusuran bibit, apalagi dengan minimnya tenaga Pendamping dilapangan maka semakin kebingunganlah kami Petani.
Berbeda dengan Fitriansyah, Paiki Dorteus Petani dari Kabupaten Monokwari Papua Barat, tidak mau ambil resiko, koperasi yang diketuai oleh Paiki langsung menjemput kecambah dari PPKS Medan dan membibitkan sendiri.
Menanggapi hal ini, Taufik Caesar Hidayat dari PPKS menyarankan supaya petani yang akan menggunakan bibit dari penangkar tertentu mempersilahkan menghubungi Sumber Kecambah itu dibeli, misalnya dari PPKS Medan.
“Silahkan hubungi kami akan segera melakukan crosscheck siapa penangkarnya, berapa jumlah kecambahnya yang dibeli dari PPKS, dan bagaimana pemeriksaan rutinnya, pasti ketahuan jika si Pangkar tersebut macam-macam. PPKS memberikan pendampingan khusus jika bibit tersebut dari PPKS Medan dan tidak dipungut bayaran, kami akan rutin melakukan monitoring (purna jual) perkembangan tanaman dilokasi PSR,” ujar Taufik.
Menanggapi Diskusi percepatan PSR dalam pelaksanaan Webinar yg diprakarsai oleh DPP Apkasindo, Mayjend TNI (Purn) Erro Kusnara, S.IP, dari Kantor Staf Kepresidenan (KSP), yang juga anggota Dewan Pembina DPP Apkasindo, menjelaskan sejak ditandatanganinya rekomtek idealnya penerima dana PSR ini harus segera melakukan MoU dengan produsen kecambah. MoU tidak mesti langsung dibayar karena sebatas mengikat janji. Hal ini sangat penting untuk menghindari kisruh ketersediaan bibit di beberapa daerah PSR. Produsen Kecambah yang sudah mendapatkan SK dari Kementerian Pertanian harus pro aktif dan harus jemput bola jangan menunggu.
“Mengenai data PSR ini sangat terbuka untuk umum, jadi produsen kecambah segera mempetakan dimana calon lokasi PSR. Bila perlu segera ikat kerjasama dengan penerima PSR melalui penangkaran langsung bibit persis di lokasi kebun PSR supaya hemat biaya,” ujarnya.
Menurut Erro Kusnara, kebun sawit rakyat ini sudah generasi kedua, harus jauh lebih baik dari generasi pertama, untuk itu harus dikawal dan diawasi dari semua lini, dari awal sampai tahap berproduksi. Inilah rencana besar pemerintah untuk menjadikan petani sebagai petani profesional dan smart. “Tidak seperti selama ini yang hasilnya tidak sesuai dengan harapan, bahkan ada yang hasilnya hanya 150 kg TBS/ha/bulan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup dan makan sehari hari tidak cukup,” ujar Erro yang pernah bertugas di daerah sentra sawit.