Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus turun tangan untuk stabilisasi harga minyak goreng. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengucurkan Rp 7,6 triliun sebagai insentif minyak goreng murah. Seberapa efektif kebijakan ini?
Hampir lima bulan sebelum tutup tahun 2021, harga minyak goreng sulit dikendalikan. Kenaikan harga tidak dapat dibatasi sebagai dampak meroketnya harga minyak sawit di pasar global. Minyak sawit merupakan bahan baku utama minyak goreng.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian yang diolah Pusdatin Pertanian, konsumsi minyak goreng sepanjang Januari sampai Desember 2020 mencapai 5,19 juta ton merupakan hasil penjumlahan konsumsi langsung, konsumsi tidak langsung dan kebutuhan indutri.
Perlahan tapi pasti, harga minyak goreng curahdan kemasan sederhana terus merangkak. Awalnya, baik pemerintah dan pelaku industri mengakui kenaikan harga sulit dihindari. Pasalnya, harga minyak sawit di pasar global terus melaju. Kementerian Perdagangan telah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp 11.000 per kilogram (Kg) dengan acuan harga CPO internasional berkisar USD 500-600 per metrik ton (MT).
“Namun harga naik sampai dua kali lipat. Akibatnya harga mencapai lebih dari Rp16.000 yang merupakan konsekuensi dari market internasional,” ujar Lutfi pada pertengahan November 2021.
Sebenarnya kebijakan konvensional seperti operasi pasar. Tetapi, langkah ini tak juga efektif. Bersama pelaku usaha, Kementerian Perdagangan menyediakan minyak goreng (migor) kemasan sederhana sebanyak 11 juta liter seharga Rp 14.000 per literke pasar tradisional.
Sampai Desember 2021, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan menerangkan bahwa penyaluran minyak goreng kemasan baru mencapai 3.087.828 liter atau sekitar 32 persen dari total alokasi. Wilayah distribusinya baru menjangkau 14 provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat.
Dampak tingginya harga minyak goreng inilah yang membuat inflasi di November dan Desember 2021. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan tingkat inflasi bulan November secara bulanan maupun secara tahunan ini merupakan yang tertinggi sepanjang 2021. Secara tahunan, tingkat inflasi pada periode tersebut tercatat mencapai 1,75 persen (year-on-year/yoy). Sementara, secara tahun kalender inflasi mencapai 1,30 persen (year-to-date/ytd). Inflasi ini salah satunya dipengaruhi harga minyak goreng.
Memasuki Desember 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi mencapai 1,87 persen. Peningkatan inflasi ini tertinggi dalam 2 tahun terakhir. Inflasi Desember juga ditopang kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau. Seperti cabai rawit, minyak goreng, dan telur ayam ras.
Tingginya harga minyak goreng inilah yang membuat ekonomi masyarakat bergejolak. Tak heran, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sampai turun gunung untuk mencegah lonjak harga. Dalam rapat awal Januari 2022, Presiden menginstruksikan Kementerian Perdagangan memaksimalkan operasi pasar minyak goreng.
“Prioritas pemerintah kepada kebutuhan rakyat. Harga minyak goreng harus tetap terjangkau, ”ujar Jokowi.
Presiden Jokowi mengatakan kenaikan harga minyak goreng dipicu tingginya harga CPO di pasar ekspor. Dalam rangka menjamin stabilitas harga minyak goreng, dikatakan Presiden Jokowi, Kementerian Perdagangan telah diperintahkan menjamin stabilitas harga minyak goreng. “Saya perintahkan Kementerian Perdagangan untuk menjamin stabilitas harga minyak goreng di dalam negeri,” ujarnya.
Perintah Jokowi supaya Kementerian Perdagangan mengoptimalkan operasi pasar sejatinya telah dijalankan. Sayangnya operasi pasar yang berjalan tidak membuahkan hasil.
Gerak cepat dilakukan Menko Perekonomian RI, Airlangga Hartarto bersama jajaran menteri terkait. Pemerintah menetapkan kebijakan untuk menyediakan minyak goreng untuk masyarakat dengan harga Rp14.000 per liter di tingkat konsumen yang berlaku di seluruh Indonesia.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 123)