Bagian IV
Pengelolaan Megasektor Sawit yang tersekat-sekat itu, menciptakan banyak kerumitan, biaya transaksi tinggi, inkonsistensi kebijakan yang muaranya menciptakan berbagai masalah yang menyulitkan Megasektor Sawit berkembang lebih baik. Konflik-konflik agraria, tumpang tindih perizinan, masalah lingkungan, kampanye negatif, ketegangan antara kebun PKS dan seterusnya yang tidak kunjung selesai, berakar dari pengelolaan yang tersekat-sekat tersebut. Bahkan sawit rakyat juga ikut jadi korban akibat pengeloaan yang tersendat-sendat tersebut. Sawit rakyat (pekebun) secara tidak sadar kita batasi perkembangan ekonominya hanya pada on-fram saja dan tidak pernah dipikirkan pengembangannya ke off-fram (hulu, hilir).
Sejumlah pertanyaan empiris (emperical question) terkait dengan hal ini: Bagaimana bentuk kelembagaan pengelolaan intergratif pada level lokal/daerah (sawit sehamparan), level supply chain hulu-hilir dan level nasional agar industri sawit nasional mampu bertumbuh secara berkelanjutan? Apakah Indonesia sudah saatnya memiliki Badan Sawit Nasional seperti MPOB (Malaysian Palm Oil Board) di Malaysia? Jawaban pertanyaan penting tersebut diharapkan datang dari riset kebijakan (policy research).
Sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia, Indonesia perlu menempatkan diri (merebut) sebagai pemimpin industri/pasar minyak sawit global. Melalui riset sawit yang berkesinambungan Indonesia perlu merebut posisi sebagai pamimpin IPTEK sawit dunia. Indonesia yang telah satu abad menekuni IPTEK sawit, harus percaya diri dan seharusnya lebih menguasai IPTEK seluruh mata rantai pasok (supply chain) dan seluk beluk sawit dibandingkan dengan negara-negara Barat yang tidak memiliki sawit.
Sumber : GAPKI