Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) masih tersendat. Kendati, syarat telah diperlunak. Kemitraan perusahaan dan petani peserta PSR diharapkan dapat membantu percepatan PSR.
Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) masih jauh dari harapan. Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian memperkirakan 2,8 juta hektare kebun petani sudah harus diremajakan. Namun, realisasinya baru 7% atau 200.205 hektare dari 2016-2020.
“Peremajaan sawit rakyat merupakan upaya pemerintah meningkatkan produktivitas kebun sawit rakyat. Selain bentuk keberpihakan pemerintah kepada pekebun rakyat. PSR juga sebagai program Pemulihan Ekonomi Nasional yang mampu menyerap banyak tenaga kerja,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Musdhalifah Machmud saat memberikan sambutan Penandatanganan Perjanjian Kerjasama Peremajaan Sawit Rakyat Melalui Kemitraan di Graha Sawala, Kemenko Perekonomian RI, Selasa (9 Maret 2021).
Ia mengatakan masalah di peremajaan sawit terus dimonitor pemerintah. Sebab,target PSR yang ditetapkan pemerintah seluas 180 ribu hektare setiap tahun. “Total target lahan yang akan diremajakan seluas 540 ribu hektar sampai 2024 diharapkan bisa tercapai,”ujar Musdhalifah.
Dicontohkan Musdhalifah, persoalan yang dihadapi petani seperti pelaksanaan Good Agricultural Practices (GAP). ”Petani diharapkan melaksanakan GAP. Tujuannya penyaluran dana BPDPKS dapat membangun kebun terbaik,” jelasnya.
Dari temuan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, kelompok petani maupun koperasi seringkali belum siap dalam pembangunan kebun. Misalkan saja, pemilihan mitra kontraktor. Heru Tri Widarto, Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Kementerian Pertanian RI, memaparkan pihaknya tidak ingin sebatas menerbitkan rekomendasi teknis. Lalu dana ditransfer ke rekening petani.
Aspek paling penting, dikatakan Heru, kemampuan petani membangun kebun. Masih terjadi gap ketika uang ditransfer ke rekening petani dengan pembangunan kebun. ”Contoh ketidak siapan saat kelompok tani mencari mitra untuk pekerjaan tumbang chipping. Termasuk juga penyediaan benih,” jelas Heru.
Selama lima tahun PSR berjalan. BPDPKS juga membuat evaluasi penyaluran dana PSR. Dalam presentasi Dirut BPDPKS, Eddy Abdurrachman, PSR menghadapi enam persoalan. Pertama, Laporan surveyor persiapan peremajaan bahwa data lahan tidak akurat. Kedua, lokasi lahan pekebun tidak didukung titik koordinat yang representative (potensi pendanaan ganda).
Ketiga, rekening pekebun tidak aktif disebabkan waktu pengajuan proposal sampai dengan disalurkan dana lebih dari 1 tahun. Keempat, penyerapan dana PSR rendah (45% dari total dana disalurkan). Kelima, laporan penyalahgunaan dana PSR di lapangan. Keenam, perubahan pengakuan belanja PSR yang semula seperti bantuan langsung tunai ke pekebun menjadi belanja pembangunan kebun.
Diakui Eddy Abdurrachman, PSR memang banyak tantangan terutama dari sisi petani. Sebagai contoh, keterbatasan petani mencari kontraktor land clearing yang bagus. Juga termasuk mencari bibit karena butuh persiapan antara 1-2 bulan.
Kalangan petani yang diwakili Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) berpendapat legalitas lahan menjadi persoalan berat petani. Gulat ME Manurung, Ketua Umum DPP APKASINDO, mengatakan masalah legalitas lahan dapat mengancam percepatan PSR. Banyak petani sawit binaan APKASINDO, yang terjebak di dalam Kawasan hutan yang akan mengikuti program yaitu Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Akibatnya pengajuan mereka ditolak untuk mengikuti program tersebut, padahal berkas petani sudah lengkap dan sesuai persyaratan teknis Ditjen Perkebunan.
“Saat ini mereka terkejut dengan status lahan yang dinyatakan dalam kawasan hutan, padahal kenyataannya di daerah mereka sudah menjadi pusat ekonomi dengan roda pemerintahan desa dan lengkap dengan segala fasilitas umum dan sosialnya,” tuturnya.
Jendral TNI (Purn) Moeldoko, KepalaKantor Staf Presiden RI, mengatakan lembaganya sangat berkepentingan terhadap keberhasilan PSR. Sebab, program ini merupakan amanat Presiden Jokowi dan termasuk program strategis.
“Kami ingin penggunaan dana replanting tepat sasaran. Terkait PSR, sawit dalam kawasan hutan, hingga ISPO, pemerintah punya infrastruktur dan suprastruktur untuk menangani ini, jalan keluarnya pasti ada, apalagi Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) sudah ada, tidak hanya untuk petani sawit, tapi semua petani keseluruhan, ” ujar Moeldoko.
Kemitraan dalam PSR
Untuk menjawab tantangan PSR, pola kemitraan diharapkan bisa membantu. Walaupun, tidak semua persoalan bisa terselesaikan semua. Strategi kemitraan ini akan membantu petani supaya tidak berjalan sendiri. Musdhalifah Machmud menyebutkan pemerintah sangat mendukung kemitraan antara perusahaan dan petani berkaitan PSR. Karena pola ini telah berjalan baik di lapangan terutama yang diinisiasi APKASINDO dan GAPKI.
Hal ini dikatakan Musdhalifah dalam penandatanganan Kerja Sama pelaksanaan PSR antara 6 Perusahaan anggota dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan 1 Perusahaan Milik Negara yaitu PTPN VI dengan 18 KUD/Koperasi/Gapoktan anggota dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) yang berasal dari 6 Kabupaten yaitu Kotabaru (Kalsel), Serdang Bedagai (Sumut), Muaro Jambi dan Merangin (Jambi), Kampar dan Indragiri Hulu (Riau), dengan total luas lahan dalam perjanjian PSR ini sebesar 18.821 hektare.
Hadir dalam kegiatan ini antara lain Musdhalifah Machmud (Deputi Menko Perekonomian RI Bidang Pangan dan Pertanian), Heru Tri Widarto (Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Kementerian Pertanian RI), Mayjen TNI (Purn) Erro Kusnara (Tenaga Ahli Utama KSP RI), Ir. Gulat ME Manurung, MP.,CAPO (Ketua Umum DPP APKASINDO), Joko Supriyono (Ketua Umum GAPKI), Rino Afrino, ST.,MM (Sekjend DPP APKASINDO) dan Eddy Abdurrachman (Dirut BPDPKS).
”Di lapangan, saya lihat MoU (GAPKI dan APKASINDO) ini sudah berjalan baik. Bagi pemerintah, PSR memastikan GAP sudah terlaksana. Mengingat, ada dana hibah PSR yang didanai BPDP. Kebun mesti terbangun kebun secara optimal dan sesuai harapan,” ujarnya.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 113)