JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Landasan Filosofi dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja dinyatakan bahwa dengan cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan kerja Indonesia yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi serta adanya tantangan dan krisis ekonomi global yang dapat menyebabkan terganggunya perekonomian nasional. Begitu juga di poin berikutnya selalu dengan harapan akan terjadi peningkatan lapangan kerja dan yang telah memiliki pekerjaan tetap dapat bekerja tanpa terjadi pengurangan atau (PHK).
Dengan Perpu 2 tahun 2022 juga sebagai upaya perubahan pengaturan yang berkaitan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja dilakukan melalui perubahan Undang-Undang sektor yang belum mendukung terwujudnya sinkronisasi dalam menjamin percepatan cipta kerja, sehingga diperlukan terobosan dan kepastian hukum untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa Undang-Undang ke dalam satu Undang-Undang secara komprehensif dengan menggunakan metode omnibus.
Harapan Pemerintah terhadap penyelesaian permasalahan bangsa yang mengharapkan dengan lahirnya Perpu 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang sebelumnya UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta kerja sebenarnya sah-sah saja. Namun sebenarnya meskipun UU Cipta dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, dalam praktiknya tetap dijalankan dengan semangat yang luar biasa khususnya di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tim KLHK sudah menerjunkan tim verifikasi lapangan atas dugaan dan klaim bagi pelaku usaha perkebunan yang telah menggunakan Kawasan hutan, baik yang baru ditunjuk, ditata batas maupun yang sudah ditetapkan dengan daftar SK Menteri LHK yang telah banyak jumlahnya.
Kalau dilihat dari turunan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta, khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari denda Administratif di Bidang Kehutanan Serta Draf Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan rasanya landasan filosofi dari Perpu 2 Tahun 2022 yang juga akan memberatkan bagi pelaku perkebunan sawit, mulai dari petani sawit sampai perusahaan perkebunan sawit itu sendiri. Seperti ketentuan Pasal 1 angka 1 Perpu 2 tahun 2022; “Cipta kerja” adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan Investasi Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
Dari pengertian “cipta kerja” itu sendiri untuk usaha perkebunan khususnya terkait lahan tidak ada yang dapat diimplementasikan, jika masih menggunakan instrumen Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari denda Administratif di Bidang Kehutanan Serta Draf Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit indonesia, Edisi 135)