Penulis Dr: Rio Christiawan, S.H., M.Hum., M.Kn. (Associate Professor Bidang Hukum)
Presiden Joko Widodo baru saja menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2023 tentang SatuanTugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara (Keppres 9/2023). Jika dirunut lebih lanjut tugas satuan tugas (satgas) yang dibentuk dengan Keppres ini adalah mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor sawit melalui penataan tata kelola industri sawit (termasuk dalam hal ini adalah upaya penegakan hukum oleh negara).
Jika mengikuti perkembangan industri kelapa sawit dari sektor hulu (upstream) hingga sektor hilir (downstream) beberapa tahun belakangan memang terlihat penuh persoalan tata kelola yang pada akhirnya justru menjadi ancaman bagi pelaku industri hingga industri sawit itu sendiri. Persoalan yang timbul di sektor hulu mulai persoalan sawit rakyat dan penataan kemitraan, persoalan legalitas lahan dan masih berbelitnya perizinan hingga persoalan sustainability yakni ‘cita-cita’ sawit yang lestari melalui tata kelola ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang masih menjangkau sebagian kecil lahan sawit.
Sementara persoalan klasik di sektorhilir (down stream) yakni persoalan kelangkaan minyak goreng, persoalan pemenuhan kewajiban domestik hingga penetapan harga eceran tertinggi (HET) yang tidak jelas membuat persoalan industri sawit di sektor hilir menjadi persoalan yang selalu berulang dan tanpa solusi. Contoh yang paling aktual adalah hutang pemerintah kepada pelaku industri kelapa sawit di sektorhilir (downstream) sebesar lebih kurang 344 Miliar rupiah sebagai konsekuensi dari kebijakan ‘rafaksi’ melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 tahun 2022 sudah setahun lebih belum dibayarkan, pada hal jika mengacu pada Permendag tersebut pelaku industri akan dibayar dalam waktu kurang dari tiga minggu.
Lebih ironis lagi saat ini para pelaku industri kelapa sawit sedang menghadapi tuduhan kartel minyak goreng oleh komisi pengawas persaingan usaha (KPPU) pada kurun waktu berlakunya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 tahun 2022. Demikian juga di awal tahun 2023 persoalan klasik ini berlanjut dengan isu kelangkaan minyakkita yang membuat KPPU kembali memeriksa sejumlah pihak. Kondisi di sektor hulu dan hilir ini sangat ironis bagi industri kelapa sawit sebagai penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia.
Ego Sektoral
Artikel ini diawali dengan judul ‘Quo Vadis’ yang secara harafiah artinya‘ hendak dibawa kemana’. Kata quo vadis ini berasal dari runutan tugas satgas tata kelola sawit dan optimalisasi penerimaan negara yang tertuang dalam Keppres 9/2023 sebenarnya jika dilihat masing-masing tugas yang tercantum dalam diktumKeppres tersebut telah ada instansi yang membidanginya, misalnya persoalan penerimaan negara adalah kementerian keuangan, legalitas lahan instansi yang membidangi Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atau persoalan tata kelola perkebunan sawit yang bertanggung jawab adalah kementerian Pertanian.
Demikian juga pada sektor hilir seharusnya instansi yang bertanggung jawab adalah kementerian perdagangan dan kementerian perindustrian. Tanpa adanya Keppres 9/2023 seharusnya memang tugas satgas sudah dijalankan masing-masing instansi. Jika melihat persoalan yang telah diuraikan diatas maka nampaknya tugas masing-masing instansi tersebut tidak berjalan optimal sehingga industri sawit selalu berada dalam labirin persoalan. Pertanyaannya adalah apakah kini tata kelola industri sawit seluruhnya berada dibawah satgas yang dibentuk berdasarkan Keppres 9/2023 ?.
Jika jawabannya tidak maka keberadaan satgas justru akan terkesan ‘mengulang’ tugas pokok fungsi instansi lainnya, dan para pelaku industri sawit akan ‘sibuk’ untuk memenuhi bermacam permintaan data dan mengikuti kegiatan yang sifatnya berulang. Demikian jika kelak terdapat perbedaan data maka data versi instansi terkait atau data satgas bentukan Keppres 9/2023 yang lebih valid. Sebaliknya jika jawabannya adalah hingga periode yang ditetapkan dalam Keppres 9/2023 adalah seluruh persoalan tata kelola sawit berada di dalam kewenangan dan tugas pokok serta fungsi (tupoksi) satgas maka pertanyaan berikutnya adalah apakah satgas tata kelola dan optimalisasi memiliki cukup waktu dan tenaga (source) mengingat satgas ini berdasarkan Keppres 9/2023 hanya akan bertugas hingga akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo (sekitar September 2024).
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisis 139)