Penulis : Entang Sastraatmadja (Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat)
Banyak yang bilang, Program Perhutanan Sosial kini muncul menjadi isu yang sering dibahas berbagai pihak, dikaranakan ada dukungan penuh dari Presiden Jokowi untuk mengembangkan nya. Tanpa ada keberpihakan dari orang nomor satu di negeri ini, boleh jadi Perhutanan Sosial tidak akan menonjol seperti sekarang.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan khususnya Direktorat Jendral PSKL pun belum tentu akan tampak serius menangani. Perhutanan Sosial menjadi tampak seksis dikarenakan dalam pelaksanaan programnya dipantau langsung oleh Presiden Jokowi. Catatan kritisnya adalah apakah sebuah program baru akan betul-betul serius digarap harus dipantau langsung oleh Kepala Negara ?
Jawabnya tegas : Tidak. Apa pun kebijakan yang dilahirkan dan program yang digulirkan, seharusnya dijalankan dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab. Kita jangan pernah berkehendak untuk main-main dengan program atau kegiatan yang telah diketok palu menjadi APBN atau APBD.
Oleh karena itu, sebuah kesalahan besar bila masih tampak ada oknum-oknum tertentu di Pemerintahan yang tidak sungguh-sungguh melaksanakan program yang telah ditetapkan lewat aturan perundangan yang ada. Dipantau langsung atau tidak oleh Presiden, namanya program harus dilakukan dengan penuh kehormatan dan tidak dijadikan sebagai gugur kewajiban semata.
Lazimnya sebuah kebijakan Pemerintah, program yang digelindingkan, akan dikemas ke dalam bentuk keproyekan. Proyek dibatasi oleh kurun waktu tertentu. Anggaran dipatok sebagaimana tertuang dalam APBN atau APBD. Kemudian akan ditetapkan pimpinan keproyekannya. Kegiatan akan berakhir bila waktunya selesai.
Pertanyaannya, apakah Program Perhutanan Sosial dikemas dalam sebuah keproyekan ? Jawabanya: Iya. Sebab, kalau kita tengok pengalaman yang berlangsung selama ini, Program Perhutanan Sosial, penganggaran memang berada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pagu anggaran telah ditentukan, sehingga dalam pelaksanaan perlu mengikuti kaedah-kaedah keproyekan.
Sebetul nya tidak ada yang salah dengan program yang dikemas dalam bentuk keproyekan. Hal itu, sah-sah saja untuk dilakukan. Yang jadi soal, bila dalam pelaksanaan ternyata ada perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para pelaksana proyek. Tidak jarang kita mendengar ada pelaksana proyek yang minta jatah sekian persen dari nilai proyek yang ada. Atau ada juga yang meminta sesuatu kepada pemenang proyek.
Begitulah cuitan-cuitan yang sering kita dengar dari pengalaman pelaksanaan program pembangunan yang dikemas dalam bentuk keproyekan. Sekarang, apakah Program Perhutanan Sosial akan tetap dipertahankan dalam bentuk keproyekan atau akan diarahkan menjadi pola hybrid? Artinya, selain disiapkan lewat pola keproyekan yang berkualitas, maka perlu dikembangkan pula yang namanya kemasan gerakan.
Pola Proyek dan Gerakan penting dirajut sedemikian rupa, sehingga menjadi perpaduan berbasis teknokratik dan partisipatif. Pola gerakan pasti menuntut keterlibatan para pemangku kepentingan secara inten. Keterlibatan pemerintahan, dunia usaha, akademisi, komunitas dan media, menjadi syarat utama untuk mewujudkan program Perhutanan Sosial yang berkualitas.
Namanya gerakan tidak dibatasi oleh kurun waktu tertentu seperti bentuk keproyekan. Gerakan dapat berjalan sepanjang waktu selama dibutuhkan masyarakat. Gerakan tidak bisa dihentikan selama masyarakat memerlukannya. Itu sebabnya, mengapa banyak pihak yang berpandangan, program Perhutanan Sosial akan lebih mengena kepada tujuan nya, bila dikemas dalam bentuk sebuah gerakan.
Perhutanan Sosial tetap dijadikan pilihan kebijakan, ketika bangsa ini ingin segera menghapuskan kesengsaraan yang melanda sebagian besar masyarakat di sekitar desa hutan. Kita harus memiliki keyakinan, program Perhutanan Sosial adalah kegiatan yang dapat mempercepat terciptanya kesejahteraan. Perhutanan Sosial merupakan obat manjur untuk menyembuhkan masyarakat yang selama terjebak dalam penyakit kemiskinan yang tak berujung pangkal.
Pemerintahan Presiden Jokowi sendiri akan berakhir pada tahun 2024 mendatang. Kita masih memiliki waktu sekitar tiga tahun ke depan sebelum Presiden baru terpilih. Persoalannya adalah apakah bila Presiden Jokowi lengser, maka program Perhutanan Sosial juga akan bubar dengan sendirinya ? Harusnya tidak. Sebab, program Perhutanan Sosial tidak ditentukan hanya oleh sosok Pak Jokowi. Siapa pun yang jadi Presiden di negeri ini, tetap akan menopang program Perhutanan Sosial.
Untuk itu, program Perhutanan Sosial tidak cukup dipayungi oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang 5 tahunan, namun akan lebih afdol lagi bila dipayungi oleh Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang 25 tahunan. Sekira nya program Perhutanan Sosial telah dipatrikan dalam RPJP, maka setiap Presiden yang diberi mandat oleh rakyat untuk menakhkodai bangsa dan negeri tercinta, secara akal sehat diminta untuk melaksanakan program Perhutanan Sosial secara sadar dan tanpa paksaan.
Jaminan program Perhutanan Sosial tidak akan berhenti seusai Presiden Jokowi lengser, tentu hal ini perlu diperkuat oleh ada nya regulasi yang selama ini digunakan untuk menetapkan RPJP. Jaminan ini benar-benar dibutuhkan, mengingat selama ini muncul kesan, setiap ganti Presiden, selalu ganti kebijakan. Apa yang dihasilkan oleh Pemerintahan sebelumnya perlu diganti. Pemerintahan yang baru harus selalu tampil berbeda.
Pertanyaan tentang program Perhutanan Sosial apakah lebih baik dikemas dalam sebuah proyek atau gerakan, kelihatan sudah dapat terjawab dengan apa yang sudah digambarkan diatas. Kedua pola ini, sebetul nya dapat digunakan selama kaedah-kaedah yang melandasinya dapat dijalankan dengan baik. Justru yang sering kita dengar adanya perkembangan program Perhutanan Sosial yang kurang senafas dengan prinsip-prinsip Perhutanan Sosial yang disepakati. Semoga kita akan segera membenahinya.