JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Keterlibatan masyarakat (red-pekebun sawit) memiliki peran besar dalam keberlanjutan kelapa sawit di Indonesia. Hal tersebut menjadi poin penting yang mengemuka dalam diskusi sawit, bertema “Mendorong Keterlibatan Masyarakat Perdesaan Hasilkan Minyak Sawit Berkelanjutan” yang diadakan pada Selasa (31 Januari 2023), di Jakarta.
Diskusi dihadiri oleh Moch. Edy Yusuf (Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Kemeko Perekonomian), Tofan Mahdi (Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia/GAPKI), dan Achmad Maulizal (Kepala Divisi Perusahaan – Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit), dan Mansuetus Darto (Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit)
Secara historis, pemberdayaan masyarakat di sektor perkebunan kelapa sawit mulai populer di Indonesia sejak 1980-an. Sejak ada dan dikembangkan Perkebunan Inti Rakyat dengan pola (PIR-Trans). Kerjasama perusahaan perkebunan sebagai inti dengan fungsi utama sebagai avalis dalam kemitraan bersama petani kelapa sawit.
Pola kemitraan (perusahaan – pekebun) terbukti dapat mendorong kemampuan ekonomi masyarakat pedesaan. Dalam hal ini, pekebun sawit sebagai aktor atau pelaku usaha perkebunan kelapa sawit, memiliki peran penting dalam masyarakat pedesaan, untuk ambil bagian dalam pemberdayaan perkebunan kelapa sawit guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Pada kesempatan itu, Tofan Mahdi mengatakan petani akan menjadi sangat penting bagi pengembangan kelapa sawit ke depan. “Dengan komposisi pengelolaan petani yang mencapai 41% dari total lahan kebun sawit di Indonesia petani tidak bisa lagi diabaikan begitu saja perannya dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit di masa mendatang.
“Kendati masih ada beberapa tantangan yang masih dihadapi misalnya tantangan regulasi, lantaran tidak semua petani bisa memenuhi regulasi yang telah ditetapkan meski perbaikan pengelolaan kebun bisa saja dilakukan secara terus menerus,” ujarnya.
Lebih lanjut, Tofan mengatakan tantangan lainnya menyangkut praktik keberlanjutan, petani harus didorong untuk bisa menerapkan pengelolaan budidaya kelapa sawit ramah lingkungan. Di Indonesia dorongan praktik berkelanjutan itu masuk dalam penerapan ISPO.
“Regulasi ISPO sudah menjadi regulasi yang tepat dalam upaya membangun kebun sawit rakyat ramah lingkungan. Apalagi kebijakan itu akan bersifat wajib (mandatory). Kita tinggal menunggu mau kemana kemauan kita. Perbaikan kelembagaan petani mesti dilakukan dan kita juga perlu terus memperbaiki tata kelola kelapa sawit berkelanjutan, ke depan industri sawit ada di tangan petani,” imbuhnya.
Sementara, untuk keberlanjutan kelapa sawit di Indonesia, Moch. Edy Yusuf menyampaikan guna mencapai tata kelola kelapa sawit berkelanjutan maka pemerintah akan terus mendorong kebijakan Rencana Aksi Nasional Kelapa sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) yang merupakan amanah regulasi Inpres No 6 tahun 2019 tentang RAN KSB tahun 2019-2024.
“Adanya kebijakan RAN KSB telah membantu pemerintah untuk menyusun tata kelola kelapa sawit yang lebih baik, penerapan dari regulasi itu diantaranya dengan melakukan pelatihan dan training kelapa pelaku usaha sawit utamanya petani dalam menerapkan budidaya sawit yang ramah lingkungan,” katanya.
“Kita juga tetap melakukan evaluasi dan memonitoring dan melibatkan banyak stakeholder baik petani pelaku usaha sawit dan 20 pemerintah provinsi penghasil sawit dalam memenuhi regulasi,” tambah Edy.
Selanjutnya, ia mengatakan pemerintah daerah akan terus didorong untuk semakin membudidayakan kelapa sawit berkelanjutan, dan itu akan membantu keberlanjutan lingkungan untuk generasi yang akan datang. “Mengenai keberlanjutan itu untuk bekal anak cucu kita. praktik keberlanjutan itu harus terus menerus dilakukan dan sustainability itu supaya bisa terus berjaya,” lanjutnya.
Selain itu, pemerintah juga akan melakukan beberapa revisi pada regulasi Indonesian Sustainabel Palm Oil (ISPO). Pada beleid tersebutakan dimasukkan hilir dan diperkuat dengan upaya kerjasama antara Kementerian dan Lembaga, termasuk menerapkan prinsip transparansi.
Sementara, untuk keberlanjutan kelapa sawit dukungan dana hibah untuk peremajaan sawit rakyat juga disiapkan Badan Pengelola Dana Perkebunhan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Achmad Maulizal menyampaikan mengatakan pihaknya mendukung penerapan praktik sawit berkelanjutan. Sebab itu BPDPKS telah melakukan penyaluran dana untuk beberapa sektor di antaranya untuk penerapan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) guna meningkatkan produktivitas kebun kelapa sawit yang dikelola masyarakat.
“Program PSR sangat penting, selain mengatasi masalah tingkat produktivitas di kebun sawit rakyat dan menjadi upaya dalam meningkatkan pendapatan ekonomi petani. Solusi yang ditawarkan BPDPKS melalui pemberian dana pendampingan untuk peremajaan dengan memanfaatkan pungutan dari ekspor sawit,” ucapnya.
Secara prinsip, dalam penerapan PSR pekebun sawit didorong untuk mengikuti program ini harus memperhatikan aspek legalitas lahan. Mereka (pekebun) akan menerima bantuan untuk mengikuti prinsip-prinsip keberlanjutan yang meliputilahan, konservasi, lingkungan dan kelembagaan.
“Untuk memastikan prinsip keberlanjutan peserta program PSR diharuskan mendapatkan sertifikasi ISPO pada panen pertama. dan, standar produktivitas untuk program replanting 10 ton/TBS/ha/thn dengan kerapan tanaman <80 pohon/ha,” tambah Mauli.
Meski, upaya dari pemerintah untuk keberlanjutan kelapa sawit sudah dijalankan tetapi, masih ada catatan. Mansuetus Darto, mengatakan penerapan kebijakan praktik kelapa sawit berkelanjutan mesti serius dilakukan semua pihak. Bahkan, koperasi petani sawit swadaya sudah ada yang memiliki sertifikasi berkelanjutan baik itu ISPO maupun RSPO.
“Terpenting keseriusan seluruh stakeholder menjadi sangat penting, misalnya tatkala ada kelompok petani yang telah memperoleh sertifkasi ISPO semestinya diterima dengan baik dan hasil produksinya bisa dibeli pabrik kelapa sawit. Tapi, masih ada pabrik yang sudah ISPO tidak ada perbedaan dan seolah perusahaan gak percaya sama ISPO, dan bahkan masih ada petani sawit yang telah memiliki ISPO tetap menjual TBS ke tengkulak,” ucapnya.