Kebijakan Uni Eropa yang mendiskriminasikan biofuel berbasis sawit mendapatkan perlawanan dari Indonesia. Sengketa ini telah sampai ke World Trade Organization (WTO) melalui upaya litigasi. Dukungan para ahli dan akademisi sangat penting untuk memberikan data dan fakta ilmiah dalam persidangan.
Semenjak 40 tahun lamanya, industri kelapa sawit menghadapi hambatan teknis maupun non teknis. Hambatan ini bagian dari kompetisi antar minyak nabati dan menghadang laju pertumbuhan sawit. Iman Yani Harahap, Direktur PT Riset Perkebunan Nusantara, menjelaskan semenjak tahun 1980-an, kampanye anti minyak tropis yang digaungkan oleh American Soybean Association, menggambarkan minyak sawit tergolong minyak jenuh yang berbahaya bagi kesehatan manusia, penyebab penyakit kardiovaskular dan penyakit degeratif lainnya.
Namun, riset kesehatan dan kedokteran yang masif di era 1990 an berhasil mematahkan isu tersebut. Dijelaskan Iman Yani, International Oil Palm Conference pertama 1998 di Bali, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dan GAPKI membawa pembicara-pembicara yang merupakan ahli kesehatan dari Amerika sendiri mengutarakan fakta sebenarnya tentang kebaikan sawit bagi kesehatan manusia. Hambatan perdagangan tersebut tidak hanya menyangkut kesehatan tapi juga aspek teknis lainnya dan lingkungan.
“Sejak adanya kesepakatan Kyoto yang dikenal dengan Kyoto Protocol (1993), kemudian dikukuhkan dengan Paris Agreement (2015) menyangkut isu pemanasan global yang dihubungkan dengan emisi gas rumah kaca dan biodiversitas, tuntutan atas minyak sawit agar dalam produksinya memenuhi syarat-syarat tertentu yang berhubungan dengan lingkungan, semakin gencar disampaikan banyak pihak di negara tujuan ekspor penting kitakhususnya Uni Eropa,” kata Iman Yani saat memberikan sambutan dalam Webinar “Hambatan Dalam Perdagangan Minyak Sawit Ke Uni Eropa” yang diselenggarakan PT RPN bekerjasama dengan BPDPKS, pada 15 Juli 2022.
Iman Yani menyebutkan bahwa Uni Eropa yang merupakan pasar tradisional dan strategis dari minyak sawit Indonesia pun membuat regulasi khusus bagi penggunaan minyak nabati sebagai sumber energi terbarukan. Kebijakan Renewable Energy dikeluarkan pada 2009 dengan no 2009/29/EC dikenal sebagai RED I.
“Regulasi minyak sawit atau produk biodiesel sawit wajib memenuhi ukuran sustainability dalam produknya yang ringkasnya saving emission minimal 50% terhadap diesel fuel,” jelas Iman Yani.
Ia menjelaskan bahwa emisi gas rumah kaca diukur dan dihitung dari kegiatan langsung produksi pada lahan perkebunan yang beralih fungsi dan juga kegiatan pabrikasi serta transportasi feedstock/produk (disebut Direct Land Use Change). Begitupun, pelaku usaha sawit di Indonesia ternyata mampu melakukan penyesuaian produksi minyak sawit agar memenuhi persyaratan sustainability untuk kepentingan ekspor.
Namun, Uni Eropa kembali memperketat perdagangan sawit melalui persyaratan lain yaitu Renewable Energy Directive (RED) II yang diundangkan Uni Eropa dengan no 2018/2001, bersama dengan Delegated Regulationnya dengan no 2019/809.
Dijelaskan Iman Yani, Indonesia merespon dengan agresif kebijakan yang dipandang diskriminatif tersebut, karena menempatkan minyak sawit sebagai HIGH ILUC RISK Feedstock, dan dirancang pada 2030 minyak sawit phase out sebagai renewable energy dari Uni Eropa.
Musdhalifah Machmud, Deputi II Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, mengatakan perlu kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan akademisi untuk menghadapi sengketa sawit dengan Uni Eropa.
Analis Investigasi dan Pengamanan Perdagangan Ahli Utama Kemendag Pradnyawati, saat membacakan sambutan Natan Kambuno, Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag RI, menjelaskan Penanganan hambatan produk sawit secara optimal hingga ketahapan litigasi di WTO ini sangat penting dan merupakan prioritas. Mengingat sawit merupakan komoditi ekspor yang sangat berdampak bagi perekonomian Indonesia dimana ia menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak 6,9 juta petani di sektor hulu/perkebunan dan 16,2 juta pekerja di sektor hilir/industri.
“Pemerintah Indonesia bersama Kementerian serta lembaga negara terkait, tim ahli sawit dan tim kuasa hukum bersama-sama telah menangani permasalahan sengketa dagang DS593 di DSB WTO sejak tahun 2017. Kasus ini merupakan kasus sengketa besar pertama di WTO yang terkait dengan isu perubahan iklim. Saat ini kita sudah mencapai tahap -tahap akhir proses sengketa,” urai Pradnyawati
Dr. Rosediana Suharto, Tenaga Ahli Bidang REDD, ILUC, TBT, dan Negosiasi menyampaikan bahwa penentuan ILUC Risk terhadap minyak kelapa sawit tidak dapat diterima dengan pertimbangan tiga faktor yaitu data yang digunakan adalah gabungan dari penelitian yang berbeda dan tahun yang berbeda, Annual growth untuk kelapa sawit tinggi pada hal annual growth dari soyabean jauh lebih tinggi tapi tidak digolongkan sebagai high ILUC, dan faktor produktivitas untuk sawit terlalu rendah dan tidak fair karena yang dibandingkan minyak sawit sedang yang lainnya buahnya atau seed.
Dijelaskan Rosediana bahwa dalam ILUC ukuran emisi GHG sukar dibuktikan karena hanya dapat dihitung menggunakan model misal GTAP, PE , CGE dll hasil perhitungan dari model yang berbeda dan sumber data yang berbeda jauh.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 129)