Semakin terbatasnya ketersediaan lahan dan ketatnya regulasi menjadikan pelaku usaha harus pintar-pintar mencari lahan di daerah yang diperkenankan untuk perkebunan(tidak bertentangan dengan tata tuang Nasional dan daerah serta semangat moratorium. Pemerintah sendiri telah mendorong penggunaan lahan marginal bagi industri yang diperkirakan luas lahan dapat mencapai di atas 8 juta hektare.
Lahan marginal dapat diartikan sebagai lahan yang memiliki mutu rendah karena memiliki beberapa faktor pembatas jika digunakan untuk suatu keperluan tertentu (termasuk untuk perkebunan kelapa sawit). Sebenarnya faktor pembatas tersebut dapat diatasi dengan masukan input teknologi (biaya) yang harus dikeluarkan.Tanpa masukan teknologi danvbiaya yang cukup, budidaya pertanian di lahan marginal sulit untuk memberikan keuntungan.
Di Indonesia, lahan marginal dapat ditemukan dalam bentuk :
- Lahan marginal basah, yaitulahan-lahan yang memiliki permukaan air tanah dangkal ( kurang dari 75 cm). Contoh lahan ini adalah lahan rawa gambut dan lahan rawa pasang surut (tanah sulfat masam). Dan juga lahan mineral (non gambut) yang sering kena luapan dan tergenang cukup lama.
- Lahan marginal kering, yaitu lahan-lahan kering non rawa yang memiliki tanah bertekstur kasar (pasir) dan lahan kering dengan topografi berbukit terjal (kemiringan lereng> 45 %).
Saat ini ketersediaan lahan-lahan marginal kering untuk keperluan perkebunan kelapa sawit sudah mulai berkurang, sehingga lahan marginal basah menjadi alternatif dan banyak dicari. Namun demikian perlu dipahami bahwa tidaklah mudah mengelola lahan marginal basah mengingat bahwa lahan ini memiliki faktor-faktor pembatas yang membatasi produktivitasnya.
Pada dasarnya lahan marginal basah masih dapat ditingkatkan kesesuaian lahannya, yaitu dengan memberikan input biaya pengelolaan lahan yang besarnya bisa mencapai 30% lebih besar daripada biaya pengelolaan lahan kering (datar). Salah satu bentuk pengelolaan yang harus dlakukan pada lahan marginal basah adalah penerapan sistim tata kelola air atau Water Management System (WMS).
Pada prinsipnya pengelolaan lahan melalui WMS akan mempertahankan muka air tanah pada kedalaman sekitar 75-100cm, sehingga air tanah tidak sampai menggenangi perakaran sawit. Pengaturan muka air tanah juga berguna dalam menghindari proses oksidasipirit yang sering terjadi pada tanah sulfat masam di rawa pasang surut. Pada lahan gambut, pengaturan air tanah akan menghindari terjadinya penurunan tanah gambut secara drastis dan mencegah kekeringan gambutyang berpotensi menimbulkan terjadinya kebakaran gambut.WMS juga melakukan pengaturan keluar dan masuknya air melalui saluran drainase sehingga air tidak stagnan.Hal ini sangat berguna untukmenekan tingkat kemasaman tanah yang umum terjadi pada lahan rawa pasang surut.
Penerapan WMS di lapangan sering sulit dilakukan bila ketinggian (elevasi) lahan relatif sama(<0,5 meter) dengan tempat pembuangan (outlet). Pada kondisi ini aliran drainase air tidak dapat dilakukan melalui sistem gravitasi. Jadi untuk wilayah yang perbedaan antara areal/lokasi rencana kebun dengan tempat pembuangan yang relatif datar (biasanya di tempat yang outletnya dengan pasang surut yang pendek), disiasati dengan pembuatan tanggul dan pompa, atau bisa juga dengan kombinasi gravitasi dan pompanisasi. Begitu pentingnya data perihal kondisi topografi dalam perencanaan WMS, sehingga sebelumnya perlu dilakukan pengukuran topografi detil (interval kontur 0,5 m). Pada lahan tanah sulfat masam, survai tanah juga perlu dilakukan untuk dapat mengidentifikasi kedalaman bahan pirit yang berbahaya bagi tanaman. Aspek Hidrologi/Hidrometri jadi pertimbangan penting, disamping informasi/peta penggunaan lahan saat ini.
Pada lokasi yang terdapat bulan-bulan kering yang nyata akan terjadi kekurangan air, sehingga pemasukan air yang ph normal harus dilakukan ke dalam lahan dan untuk ini harus tersedia sumber air yang mencukupi. Selain itu pada lahan-lahan yang mengandung pirit dangkal (< 60 cm), tata air akan sulit dikendalikan, karena pirit akan teroksidasi bila muka air tanah diturunkan dan menimbulkan masalah keracunan tanaman. Lahan basah dengan lapisan pirit dangkal sebaiknya dikonservasi.
Pengelolaan air di lahan marginal secara teknis seringkali terkendala oleh sulitnya mencari buangan (outlet), terutama di wilayah-wilayah yang pasang surutnya rendah.Penentuan lokasi outlet pembuangan kadang juga harus melalui lahan-lahan produktif milik masyarakat, sehingga dapat menimbulkan masalah jika tidak direncanakan dan disosialisasikan secara matang.
Water Management System adalah sebuah upaya dan strategi menyiasati kendala pengelolaan lahan marginal basah. Dalam implementasinya masih dibutuhkan tersedianya sumber daya manusia (team) yang memiliki skill dan komitmen tinggi dalam menjalankan tugasnya secara konsisten di lapangan. Beberapa perusahaan kelapa sawit yang mempunyai lahan basah telah ditunjang dengan divisi khusus yang menangani water management system. Tugasnya adalah mempersiapkan lahan marginal basah sampai lahan siap untuk ditanam, serta menjaga seluruh sistem berjalan secara konsisten selama masa produksi. Di samping mengelola lahan marginal basah, tim ini bisa juga diperbantukan dalam menangani problem kebutuhan sumber air di lokasi kebun lahan kering.
Ada 2 hal yang cukup penting dan perlu menjadi perhatian yaitu keterpaduan (sinergi) antara perencanaan dan implementasi dalam water management system. Dua hal tersebut dapat menentukan tingkat keberhasilan penanganan lahan-lahan marginal basah. Perencanaan disini artinya mulai dari pengukuran ketinggian topografi (spot height), hingga desain tata kelola airnya. Keterlibatan para ahli atau konsultan yang sudah teruji dan terbukti mampu membuat desain yang cocok dengan situasi areal & kondisi lingkungan sekitar areal dan dapat dapat diterapkan di lapangan (termasuk supervisi) adalah hal yang perlu menjadi perhatian bagi para pelaku industri perkebunan kelapa sawit yang memiliki lahan marginal basah (tergenang).