Pemerintah telah menerbitkan aturan tentang kebijakan satu peta sejak periode pertama Presiden Joko Widodo. Aturan payung mengenai kebijakan satu peta atau sering dikenal dengan one map policy yang pertama diterbitkan yakni Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000 dan diubah dengan Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016.
Latar belakang dikeluarkannya kebijakan pembuatan kebijakan satu peta adalah bahwa Informasi Geospasial Tematik (IGT) yang ada selama ini ternyata masih saling tumpang tindih satu sama yang lainnya. Kondisi seperti ini sangat menyulitkan dalam mendukung pemanfaatan ruang dan penggunaan lahan untuk pengembangan kawasan dan infrastruktur. Kondisi ini sangat merugikan karena tanpa dipadukan / disinkronkan antara peta yang satu dengan peta yang lainnya untuk suatu kepentingan pembangunan pada akhirnya suatu perencanaan pembangunan akan mengalami kegagalan dan dengan sendirinya pembangunan wilayah tidak pernah ada, bahkan bisa jadi menyebabkan kerusakan lingkungan.
Terbitnya Perppres tersebut diikuti dengan beberapa aturan turunan yakni Keppres No. 20/2018; Permenko No. 6/2018 dan Permenko No. 7/2018. Bahkan lebih lanjut setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), aturan hukum mengenaikebijakan satu peta diperkuat dengan PP No. 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidak sesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin dan/atau Hak Atas Tanah. Peraturan Pemerintah ini memberikan landasan hukum yang lebih kuat dalam penyelesaian ketidak sesuaian pemanfaatan ruang baik antara RTRW, Kawasan Hutan, maupun Izin dan/Hak atas tanah yang terjadi di Indonesia.
Tujuan dan semangat dari dibuatnya kebijakan satu peta oleh Presiden Joko Widodo adalah untuk Kebijakan Satu Peta atauOne Map Policy adalah kebijakan Pemerintah dalam rangka untuk mewujudkan tata kelola hutan dan pertanahan yang baik sebagai sarana untuk mencegah konflik penguasaan lahan di Indonesia. Kebijakan Satu Peta bertujuan untuk membenahi sistem pemetaan tematik nasional dan segaligus peta dasarnya, khususnya untuk skala 1:50.000. Dari sisi lain Kebijakan Satu Peta juga dapat dipandang bahwa sistem pemetaan nasional yang menghasilkan informasi geospasial nasional, selama ini ternyata belum bisa sepenuhnya dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan nasional.
Ironi Perkebunan Kelapa Sawit
Kasus tumpang tindih lahan sudah sangat sering terjadi di industri perkebunan kelapa sawit, kasus tumpang tindih lahan biasanya dimulai dari adanya tumpang tindih (overlap) perizinan yang diterbitkan oleh pemerintah. Demikian pula perkebunan kelapa sawit kerap kali menjadi ‘korban’ dari kebijakan pemerintah yang diakibatkan tidak validnya peta pemerintah dan tiadanya koordinasi lintas instansi menyebabkan perkebunan kelapa sawit kerap menjadi ‘korban’.
Contoh yang terbaru belum berfungsinya kebijakan satu peta (one map policy) adalah terbitnya Kepmen LHK No SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang pencabutan izin konsesi kawasan hutan. Pada keputusan tersebut banyak mencabut area perkebunan kelapa sawit yang telah dilepaskan menjadi area penggunaan lain (APL) dan telah dipergunakan sesuai peruntukannya yakni perkebunan kelapa sawit. Bahkan keputusan tersebut juga mencabut perkebunan kelapa sawit yang telah mendapatkan sertipikat hak atas tanah seperti hak guna usaha (HGU).
Kondisi ini justru menciptakan ketidak pastian dalam berusaha dan bertentangan dengan semangat pembuatan kebijakan satu peta yang akan diintegrasikan dengan perizinan berbasis online single submission (OSS). Setelah terbitnya Kepmen LHK No SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit (utamanya) yang bersifat terbuka mengumumkan kepada otoritas bursa dan membuat siaran pers mengenai potensi kerugian. Kemungkinanan caman pengurangan areal perkebunan kelapa sawit yang telah dikelola dan tentu saja kebijakan ini akan berdampak secara finansial dan menjadi pertimbangan investasi bagi para investor. Bahkan banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah mendapatkan sertifikat kelestarian seperti ISPO maupun RSPO yang masuk dalam lampiran Kepmen LHK No SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit indonesia, Edisi 127)