Hasil temuan penelitian itu saya bahas dengan teman-teman satu tim. Waktu itu saya usulkan bagaimana kalau tinggkat pencemaran dikurangi 90 persen. Berarti, beban pencemaran harus ditekan dari 25.000 ppm ke 2.500 ppm. Kemudian setelah itu berjalan, kembali ditekan ke angka 1.500 ppm. Kemudian secara perlahan akan kembali diterapkan ketentuan bahwa pencemaran tidak boleh melebihi angka 750 ppm. Kalau tidak diterapkan secara tegas, pencemaran akan terjadi semakin parah. Lagi pula sulit mengawasi sehari 24 jam aktivitas pabrik. Karena itu, peraturan yang ditetapkan dengan standar tinggi.
Sebuah buku panduan yang dihasilkan dari penelitian pun ditulis. Saya turun tangan sendiri menulisnya. Hasilnya dibahas di BKSPTS. Semua direksi perusahaan berkumpul. Setelah mendengarkan pemaparan tim, mereka setuju untuk memberlakukan hasil kerja tim sebagai peraturan lingkungan itu akan kami ajukan kepada Gubernur Sumatera utara untuk dipertimbangkan menjadi peraturan yang berlaku bagi seluruh wilayah Sumatera Utara.
Kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup di jakarta mengirimkan pejabatnya untuk meninjau pencemaran di Sumatera Utara. Nabiel Makarim, kelak akan menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup, datang sebagai utusan Menteri Emil Salim. Bersama-sama kami meninjau penanganan limbah pabrik karet dan kelapa sawit. Ia memberikan pandangannya mengenai persoalan limbah perkebunan. Kemudian digelar suatu konferensi dengan nama “Regional Symposium on Plantation Environments” pada tanggal 8-10 Juni 1983 di Bina Graha, Medan. Menteri Emil Salim hadir memberikan bimbingan. Pembicara dari Malaysia juga hadir membawa makalah. Saya menyampaikan hasil kerja tim BKS-PPS dengan makalah yang berjudul “Mill Effluent Problems in Oil Palm and Rubber Plantation”.
Sumber : Derom Bangun