MINYAK SAWIT, merupakan minyak nabati yang digunakan untuk kebutuhan pangan dan energi, dan memiliki industri dan produk turunan paling banyak dibandingkan tanaman lain dan sebagian tidak bisa dihasilkan oleh minyak nabati lainnya.
MINYAK SAWIT, merupakan minyak nabati yang berkontribusi sekitar 33% produksi minyak nabati di dunia.
MINYAK SAWIT, merupakan minyak nabati yang berkontribusi sekitar 40% dari konsumsi minyak nabati di dunia.
MINYAK SAWIT, merupakan minyak nabati yang berkontribusi sekitar 55 % dari ekspor minyak nabati di dunia.
MINYAK SAWIT, memiliki peran penting dalam penyediaan kebutuhan pangan (minyak goreng dan produk-produk hasil turunan untuk kebutuhan sehari-hari, berkontribusi dalam penyediaan energi terbarukan, berkontribusi terbesar dalam produksi, konsumsi, dan ekspor minyak nabati di dunia.
INDONESIA, negara yang berkontribusi sekitar 58 % dari produksi minyak sawit dunia.
INDONESIA, negara yang memiliki lahan sawit terluas sedunia, setidaknya lebih dari 18 juta hektar.
INDONESIA, negara produsen terbesar minyak sawit sedunia, setidaknya 48 jutaton diproduksi per tahun.
INDONESIA, negara eksportir terbesar minyak sawit dan turunannya di dunia, setidaknya mengekspor berkisar 25 juta – 30 juta ton per tahun.
INDONESIA, negara memiliki sawit terluas, produksi terbanyak, eksportir terbesar di dunia, berkontribusi sebesar 58 % di pasar dunia.
SAWIT BAGI INDONESIA, memiliki multiplier effect pada pembangunan berkelanjutan dengan berkontribusi pencapaian target SDGs, yaitu 14 dari 17 target pencapaian SDGs meliputi: (1) menghapus kemiskinan, (2) mengakhiri kemiskinan, (3) kesehatan yang baik dan kesejahteraan, (4) pendidikan bermutu, (5) kesetaraan gender, (6) akses air bersih dan sanitasi, (7) energi bersih dan terjangkau, (8) pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, (9) infrastruktur, industri dan inovasi, (10) mengurangi ketimpangan, (11) konsumsi dan produksi yang bertanggungjawab, (12) penanganan perubahan iklim, (13) menjaga ekosistem darat, (14) kemitraan untuk mencapai tujuan. Minyak sawit berperan besar untuk berkotribusi pada pencapaian target dan tujuan SDGs.
Gaduh dan kompleksitas kebijakan minyak goreng di pasar domestik, menunjukan perlunya pembenahan tata kelola bisnis dan industri berbasis sawit dengan sistem rantai pasoknya. Kondisi ini merupakan momentum untuk melakukan pembenahan tata kelola secara komprehensif. Sawit telah menjadi produk global, diperdagangkan dan berkontribusi untuk pangan dan energi dunia, gaduh dan kesulitan mengelola kebutuhan dalam negeri, bagaimana dengan keinginan menjadi pemain global.
Tantangan bisnis global komoditas pangan dan energi akan meningkat oleh beberapa hal: (1) Dipicu oleh tantangan perubahan iklim dan perkembangan geopolitik komoditas pangan dan energi terbarukan, maka setiap negara untuk menjaga ketahan pangan dan energi akan mengupayakan semaksimal mungkin swasembada “all about cost” termasuk melakukan subsidi dan proteksi. Oleh karena itu, program subsidi dan proteksi sektor pertanian (industri biomas) di negara manapun akan menjadi strategi utama “mainstreaming” untuk menyiapkan ketahanan pangan dan energi terbarukan.
(2). Adanya kecenderungan suatu negara lebih senang melakukan kerjasama perdagangan bilateral antara negera yang menjadi temannya. Apa lagi pasca perang Rusia-Ukraina, kondisi ini akan menguat, dimana negara-negara lebih senang melakukan hubungan dagang sesama negara teman baik. organiasi perdagangan internasional seperti GATT, WTO yang selama ini mendorong pasar bebas “free trade dan fair trade” menjadi kurang memperoleh dukungan karena pada prakteknya yang akan berlangsung adalah perdagangan antar negara “antar teman”, (3) Perdagangan internasional akan diwarnai oleh kepentingan negara, sehingga perdagangan global yang saat ini dominan melalui paktek B to B akan menjadi kombinasi B to B dan G to G. Dibutuhkan peran besar oleh negara untuk membangun kemitraan bisnis bilateral dan multilateral yang mendukung bisnis B to B.
Beberapa upaya dapat dilakukan untuk pembenahan tata kelola sawit menghadapi perubahan geopolitik dan geostrategis, agar sawit dapat membantu upaya pencapaian, target SDGs, membangun kesejahteraan bangsa dan dan menjadikan Indonesia menjadi pemimpin dalam pasar global minyak nabati dunia dan minyak sawit khususnya.
Pertama, Penguatan industri dalam negeri, dengan melakukan beberapa hal:
- Penguatan sistem industri biomass di farm (perkebunan).
- Perkebunan kelapa sawit saat ini 43 persen diusahakan oleh petani pekebun rakyat dan 57 persen oleh perkebunan besar. Produktivitas Pekebun rakyat berkisar antara 50-90 persen dari berkebunan besar, atau rata berkisar 60 persen. Petani mandiri skala kecil, kurangdari 5 hektar dengan produktivitas dalam kisaran 50 – 70 persen dibandingkan dengan perkebunan besar, petani skala lebi hdari 10 hektar berkisr 70-90 persen, petani plasma dan kemitraan berkisar 75-95 persen. Maka target perbaikan tata kelola di kebun harus fokus di pekebun rakyat, utamanya petani mandiri yang jumlah sekitar 93 persen. Peningkatan produktivitas dilakukan melalui (1) peremajaan seperti program PSR, (2) intensifikasi kebun-kebun yang masih memiliki produktivitas diatas dari 15 ton/ha/th, (3) pengembangan kelembagaan dengan SIM petani berbasis digital. Program PSR dan intensifikasi yang dibantu dengan dana BPDP-KS harus diakselerasi, hambatan terkait status lahan dan pendataan petani harus “diprioritaskan dan disegerakan”. Program bantuan sarana dan prasarana harus segera diwujudkan, apa lagi saat harga agro input kimia yang naik tajam.
Untuk kelancaran program PSR dan intensifikasi, maka pengembangan kelembagaan petani dengan Sistem Infromasi Manajemen (SIM) berbasis digital menjadi “entry point” untuk kelancaran perencanaan dan implementasi dari kebijakan-kebijakan pemerintah, karena pada saatnya akan digunakan untuk membangun kemitraan strategis dengan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) khususnya pemasaran dan program-program lainnya.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit indonesia, Edisi 127)