Konsepsertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) di bidang bioenergi akan mengacu kepada tiga prinsip yaitu kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, ketertelusuran, dan peningkatan usaha secara berkelanjutan. Saat ini Kementerian ESDM RI masih menunggu hasil revisi Peraturan Presiden (Perpres) ISPO Nomor 44/2020 untuk menjadi rujukan aturan teknis.
ISPO hadir pertama kali pada tahun 2011. Saat ini pemerintah sedang melakukan revisi terhadap Perpres No. 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia. Dalam aturan tersebut jelas mengenai pelaksanaan ISPO dari hulu kehilir. Hadirnya ISPO juga diharapkan akan menjadi daya dukung pemasaran minyak sawit Indonesia beserta turunan produk lainnya.
Data Kepmentan No. 833 tahun 2019 luas areal tutupan kelapa sawit 16,38 juta hektar, yang terbagi menjadi 8,64 juta ha dikelola perusahaan swasta, 6,94 juta ha dikelola oleh rakyat dan 0,8 juta ha dikelola BUMN.
“Saat ini, luas 6,9 juta hektare sawit pekebun rakyat, dan di situ jumlahnya 2,5 juta pekebun. Jumlah 2,5 juta pekebun ini menjadi tantangan dalam melaksanakan ISPO kedepan,” ujar Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Ditjen Perkebunan Kementrian Pertanian, Dr. Prayudi Syamsuri, SP., M.Si saat menjadi pembicara seminar “Tantangan Industri Bionergi” yang diadakan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) di Jakarta (27/2/2024).
Menurut Prayudi, sawit merupakan komoditas perkebunan berbeda, sebab hampir setengah lahannya adalah milik rakyat, bukan perusahaan besar. Maka, menurutnya penting adanya sistem ketertulusuran ISPO dari hulu kehilir yang berskala nasional.
Dalam sistem ketertelusuran ini, salah satunya adalah pembangunan basis data jumlah pekebun rakyat. Sejauh ini memang data yang tersedia secara menyeluruh baru didapatkan dari perusahaan. Jika, ini diterapkan diharapkan sistem ini dapat menjadi satu acuan untuk membuat regulasi yang sesuai dengan kondisi di lapangan serta menjadi jawaban akan sistem baru yang diterapkan Uni Eropa (UE).
“Harapan kita sistem database dan ketelusuran yang sedang dikembangkan ini bisa menjawab bebera papertanyaan atau permintaan, salah satunya dari UE,” ujar Prayudi.
Sejalan dengan adanya perbaikan dan pembangunan basis data perkebunan kelapa sawit di hulu. Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementrian Perindustrian RI Setia Diarta menjelaskan bahwa industri makanan dan minuman di Indonesia itu disumbangkan oleh industri pengolahan sawit. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai dan volume ekspor makanan Indonesia.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 149)