Jakarta, SAWIT INDONESIA – Potensi obral izin pabrik kelapa sawit cenderung semakin tinggi menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Banyak bermunculan pabrik kelapa sawit tanpa kebun dan tidak memiliki kemitraan yang izinnya diberikan kepala daerah. Di sisi lain, kehadiran pabrik tersebut kerap kali tanpa mempertimbangkan daya dukung wilayah dan butuh pengawasa supaya buah sawitnya tidak berasal dari kegiatan kriminal seperti pencurian.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Ekonomi Universitas Riau, Prof. Dr. Almasdi Syahza mengatakan Pemerintah pusat harus komitmen menjalankan aturan yang mereka buat. Sebab, selama ini yang menjadi masalah adalah tidak konsistennya aturan pusat dengan pelaksanaan di daerah.
Salah satu yang menjadi persoalan adalah menjamurnya pabrik sawit tanpa kebun ataupun pabrik mini yang tidak menjalin kemitraan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Beleid ini mengatur bahwa pabrik harus memiliki perkebunan sendiri, apabila tidak ada maka pabrik diwajibkan menjalin kemitraan dengan petani untuk memenuhi pasokan bahan baku 20%.
Prof. Almasdi mengatakan masalah izin pendirian pabrik kelapa sawit harus mengikuti aturan yang berlaku. Jika tidak bakal menjadi masalah di kemudian hari.
“Dari sisi pertimbangan jarak antar pabrik, adanya kemitraan, dan daya dukung wilayah tentu menjadi acuan melalui sebuah studi kelayakan pabrik kelapa sawit (PKS). Kecuali PKS didirikan tanpa dokumen studi kelayakan dan Amdal (analisis dampak lingkungan), ini beresiko terhadap perizinan,” ujar dia.
“Jika pemberian izin (pabrik sawit) dikaitkan dengan aktivitas politik tentu akan berdampak setelah pilkada 2024, umpama jika melanggar akan dikejar oleh lawan politik,” tambah Almasdi.
Prof. Almasdi menegaskan kehadiran pabrik sawit tanpa kebun jelas mengganggu tata niaga sawit yang sudah berjalan. Karena itulah, pemerintah daerah dan pusat harus tegas dalam menjalankan regulasi.
”Jelas mengganggu (pabrik sawit tanpa kebun) tapi salah pemerintah juga. Kenapa diberikan izin pabrik sawit tanpa kebun, harus diakui ini salah satu dampak otonomi daerah. Yang punya daerah itu bupati bukan pemerintah pusat,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo mengkritisi obral perizinan kepada pabrik sawit yang berpeluang menciptakan kondisi tidak baik apabila tidak sesuai regulasi.
“Obral izin ini, kalau denger rumor itu ini bagian untuk menarik secara politik memang. Cuma daerah mana saya tidak tahu persis. Memang dengan adanya pabrik banyak, petani mempunyai banyak kesempatan menjual TBS sawitnya. Tapi juga harus dengan syarat pabriknya tidak memfasilitasi sawit dari hasil penjarahan atau dari kawasan hutan,”urainya.
Achmad Surambo juga meminta pemerintah daerah dan dinas perkebunan memperhitungkan dengan matang terkait pendirian pabrik sawit baru. Karena jika tidak imbang maka akan mengganggu juga iklim usaha.
Pakar Lingkungan, Dr. Riyadi Mustofa menjelaskan pasca terbitnya UU Cipta Kerja maka proses pendirian pabrik sawit menjadi lebih ketat dari sisi lingkungan. Disinilah peranan pemerintah daerah harus mengawasi perizinan Amdal bagi pabrik sawit khususnya pabrik sawit tanpa kebun agar tidak melanggar regulasi yang sudah berjalan.
Sebelum UU Cipta Kerja, pemilik pabrik cukup dapat Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) lalu mengurus izin lainnya. Tetapi sekarang ini, diharuskan mengurus izin seperti pengolahan limbah cair dan land aplikasi, barulah dapat diterbitkan Amdal.
“Jadi sekarang ini, pelaku usaha harus patuh terhadap aturan pendirian pabrik sawit. Prosesnya memang menjadi panjang dan lumayan lama khususnya untuk mendapatkan Amdal,” pungkas Riyadi.