Bagian IV
Jika pada tahap factor-driven industri sawit lebih banyak diperankan sektor kebun sawit, tahap industrialisasi sawit lebih maju tersebut akan lebih banyak diperankan oleh sektor hulu, sektor hilir dan sektor jasa penunjang, yang di intergrasikan denga sektor perkebunan sawit. Industrialisasi lanjutan tersebut akan membawa industri sawit pada produktivitas tinggi, menikmati nilai tambah tinggi dari ratusan produk jadi dan menghasilkan/menghemat devisa.
Sejauh ini ,produksi minyak sawit Indonesia sebagian diperoleh dari perluasan areal kebun/ekstensifikasi (factor-driven). Sumber pertumbuhan minyak sawit secara ekstensifikasitersebut sudah semakin terbatas kedepan. Selai ketersedian lahan yang makin terbatas, ekstensifikasi yang terus menerus juga menimbulkan biaya sosial dan ekologis tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, sudah saatnya perkebunan sawit nasional naik kelas kepada pase pembangunan yang digerakan oleh penintgkatan produktivitas baik melalui pemanfaatan barang-barang modal (capital-driven) maupun pemanfaatan inovasi teknologi (innovation-driven). Peningkatan produksi minyak sawit yang bersumber dari peningkatan produktivitas minyak per hektar, jauh lebih berkualitas dan berkelanjutan baik secara ekonomi, sosial maupun ekologis.
Menurut data Kementerian Pertanian (2016) dari 11,6 juta luas kebun sawit Indonesia, produktivitas secara nasional masih sekitar 4 ton minyak per hektar. Produktivitas tertinggi dicapai perkebunan sawit swasta yakni 4,5 ton minyak per hektar, kemudian disusul kebun sawit BUMN 4,1 ton miyak per hektar, sedangkan kebun sawit rakyat masih mencapai 3,4 ton minyak per hektar. Produktivitas tersebut jauh lebih rendah dari potensi produktivitas yang ada yaitu 7,8 ton minyak per hektar (PPKS, 2017).
Sumber : GAPKI