Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero) berkepentingan terhadap pengembangan bursa CPO Indonesia untuk mengukuhkan posisi Indonesia sebagai produsen terbesar sawit di dalam negeri.
Direktur Pemasaran Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero) Dwi Sutoro, mengatakan Indonesia sebagai produsen terbesar CPO dunia, sudah semestinya memiliki harga acuan sendiri.
“Karena menggunakan CPO international price sebagai acuan harga CPO domestik, sering tidak membuat keseimbangan penawaran dan permintaan di dalam negeri, sehingga mengakibatkan ketidak stabilan harga CPO dalam negeri,” ujarnya dalam Seminar Hybrid Majalah Sawit Indonesia bertemakan “Strategi Indonesia Menjadi Barometer Harga CPO Dunia” pada 2 Maret 2023.
Menurutnya, Indonesia sebagai produsen terbesar CPO dunia, sudah semestinya memiliki harga acuan sendiri.
“Tentunya berbicara industri sawit dunia akan dimulai dari hulunya, dimanapun para industriawan sawit dunia kalau ingin belajar bagaimana melakukan perbaikan tata kelola di hulu dan tata kelola aturannya suatu saat nantinya belajar dari Indonesia,” harap dia.
Dwi menegaskan Indonesia mempunyai kapasitas luar biasa dengan kontribusi lebih dari 55% produksi sawit dunia. “Lebih hebat lagi konribusi kita 42% dari edible dunia. Sehingga kalau kita berhenti hanya seminggu tidak mensuplai, apa kata dunia dan apa yang bisa dilakukan dunia,” ujar dia.
Harga CPO di Indonesia masih mengacu pada harga dua bursa utama dunia yakni MDEX Malaysia dan Rotterdam. “Ini menjadi tantangan kita untuk minimal disejajarkan dengan bursa-bursa yang ada di dunia,” kata dia.
Fakta Indonesia sebagai produsen sawit dunia dan yang dibutuhkan harga referensi (price reference). “Ini butuh konsensus atau kesepakatan dengan berbagai pihak termasuk pemerintah,” kata Dwi.
Menurut Dwi, bursa CPO yang ideal merupakan bursa yang memiliki fungsi lengkap, yakni sebagai price discovery, price reference, dan hedging, dari sebuah proses yang fair, efisien, transparan, dan terpercaya.
“Tentunya, ide membangun tata niaga komoditi CPO Indonesia melalui pengembangan bursa CPO Indonesia ini harus kita dukung dan diskusikan sebagai tahapan untuk membuat Indonesia menjadi barometer sawit dunia,” ujarnya.
Untuk itu, Dwi mengusulkan kepada pemerintah supaya dapat memanfaatkan sistem perdagangan CPO yang sudah ada seperti KPBN (PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara).
Ia menjelaskan, bursa CPO idealnya mempunyai tiga fungsi yakni “price discovery” (pembentukan harga), “price reference” (acuan harga) dan “hedging” (lindung nilai), dari sebuah proses yang fair, efisien, transparan, dan terpercaya.
“Gagasan membangun tata niaga komoditi CPO Indonesia melalui pengembangan bursa CPO Indonesia ini harus didukung dan diskusikan sebagai tahapan untuk membuat Indonesia menjadi barometer sawit dunia,” ujarnya.
LebihlanjutDwimenyampaikan, bahwapembentukan tata niagasawit, setidaknyaharusmencakupempataspek, antara lain aspekkeadilan, efisiensi, nilaitambah, dan keberlanjutan.
“Keterlibatanpemerintah, BUMN, dan swasta, diharapkanbisamenciptakansinergi yang positifdalammendesain tata niagasawit Indonesia yang adil, efisien, transparan, dan terpercaya,” ungkapnya.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 137)