Pemerintah tidak boleh menutup mata terhadap LSM asing (transnasional) yang berperilaku serampangan. Aksi okupasi Greenpeace di kilang minyak sawit merupakan contoh pelanggaran aturan.
Kampanye “minyak sawit kotor” yang digaungkan Greenpeace bukanlan kampanye biasa. Tuduhan ini dinilai merugikan semua kalangan mulai dari petani sampai perusahaan. Walaupun kampanye ini dialamatkan kepada kelompok usaha Wilmar melalui aksi okupasi. Tetapi dampak kampanye ini merugikan kepentingan ekonomi nasional.
“Kampanye Greenpeace harus dilawan. Yang rugi bukan saja perusahaan. Melainkan juga petani sawit. Apalagi harga sedang jatuh seperti sekarang,” tegas Rino Afrino, Wasekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO).
Rino menyayangkang kampanye ini di saat pemerintah Joko Widodo sedang bekerja keras meningkatkan ekspor. Tetapi muncul kampanye hitam sebagaimana dilakukan Greenpeace. Alhasil, kampanye ini membawa permasalahan yang sangat pelik. “Kita lagi sibuk ingin tingkatkan ekspor supaya sawit dapat terserap. Tapi kenapa Greenpeace malahan menduduki kilang minyak untuk kegiatan ekspor,” katanya.
Kampanye Greenpeace mempersulit upaya diplomasi sawit yang digagas pemerintah, karena imej industri sawit menjadi buruk di mata dunia terutama Eropa. Karena selama ini, kata Rino, diplomasi seperti yang dilakukan Menko Kemaritiman, Luhut Panjaitan sudah membuahkan hasil. Namun dengan aksi Greenpeace ini malahan menghambat diplomasi.
Rino menegaskan segala macam kampanye hitam NGO berdampak negatif bagi industri sawit secara keseluruhan. Untuk itu, pemerintah sebaiknya bertindak tegas kepada NGO yang merusak ekonomi nasional. “Kami minta pemerintah bertindak tegas pada Greenpeace. Jangan dibiarkan kampanye leluasa seperti itu,” tegasnya.
Kekhawatiran serupa muncul dari kalangan ekonom. Bhima Yudistira, Pengamat Ekonomi INDEF menyebutkan persoalan hambatan dagang dan kampanye hitam dapat dipetakan ke dalam beberapa isu misalkan di Amerika Serikat yang muncul isu dumping dan persaingan biofuel. Di Uni Eropa, sawit dihadang persoalan lingkungan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Lain halnya dengan India yang menghadapi masalah neraca dagang.
“Isu negatif sawit terus dipoles dengan berbagai cara. Di Uni Eropa, sawit diserang isu buruh anak dan lingkungan,” kata Bhima Yudistira.
Jika persoalan ini tidak segera ditangani, dampaknya sanga luas terhadap neraca perdagangan dan investasi luar negeri. Bhima mengatakan surplus perdagangan Indonesia terus menyusut semenjak beberapa tahun terakhir. Indonesia beruntung ada sawit sebagai penyumbang utama ekspor non migas. Sayang sekali, perhatian pemerintah terhadap sawit belum serius. Akibatnya, daya saing komoditas ini sulit berkembang.
“Tetapi jika pemerintah tidak menjaga komoditas (sawit) dari gangguan. Maka nasib sawit akan seperti komoditas rempah-rempah yang sekarang kita dengar cerita kejayaannya saja,”kata Bhima.
Di sektor investasi, penanaman modal asing di sektor perkebunan anjlok dari periode 2015-2017. Investasi di sektor pangan dan perkebunan tergerus menjadi US$ 1,4 miliar pada 2017, lebih rendah dari tahun 2015 sebesar US$ 2 miliar. Yang dikhawatirkan, investasi sektor jasa semakin tinggi. “Padahal, penyerapan tenaga kerja di sektor jasa terbilang rendah dari perkebunan,”kata Bhima.
Greenpeace Indonesia Ilegal?
Data Forum Jurnalis Sawit (FJS) menunjukkan bahwa sejumlah LSM asing yang aktif menyerang kelapa sawit pada kenyataannya belum terdaftar dan tidak melaporkan kegiatannya kepada pemerintah Indonesia.
LSM asing yang belum terdaftar di Kementerian Luar Negeri antara lain Greenpeace Indonesia, Forest People Programe, Mighty Earth, Environmental Investigation Agency (EIA). Mereka tidak tercatat dalam situs resmi Kementerian Luar Negeri yaitu https://ingo.kemlu.go.id/. Di situs tersebut terdapat 65 NGO asing yang terdaftar beroperasi di Indonesia, tetapi nama-nama LSM di atas tadi tidak terdaftar.