Pusat Sains Kelapa Sawit (PSKS) INSTIPER Yogyakarta melakukan soft launching Forum Sawit Indonesia (FoSI) 2023.
Direktur Pusat Sains Kelapa Sawit (PSKS), Dr. Purwadi mengatakan soft launching FoSI 2023 melalui format Podcast (FoSI on Podcast) sebagai agenda tambahan sebelum pelaksanaan FoSI yang sudah dijadwalkan pada 21 – 24 November 2023.
“Para stakeholders telah melaksanakan FoSI 2022 yang telah memunculkan pemikiran dan strategi untuk membangun sawit Indonesia menuju 2045. Agenda FoSI 2022 telah menyapa kati menjadi agenda tahunan yang akan membahas dan mengusulkan regulasi atau kebijakan terkait dengan pembangunan industri sawit Indonesia,” ujarnya.
Dalam acara peluncuran FoSI on Podcast diadakan diskusi yang memperbincangkan tantangan industri sawit dengan menghadirkan lima narasumber yakni Dr. Ir. Harsawardana,M.Eng (Rektor INSTIPER Yogyakarta), Dr.Sunari (Direktur Penyaluran Dana, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit), Eddy Martono (Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit), Achmad Mangga Barani (Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan), dan Mula Putera (Koordinator Tanaman Kelapa Sawit, Ditjen Perkebunan), dan dipandu oleh Dr. Purwadi (Direktur PSKS INSTIPER Yogyakarta).
Eddy Martono menuturkan biaya produksi di sektor hulu sawit terus meningkat seperti pupuk dan upah pekerja. Di sisi lain, Indonesia masih mengambil posisi sebagai price taker bukan price maker.
“Apabila kita (pelaku industri) tidak bisa mengontrol ini semua, pasti akan tenggelam. Perlu diketahui bahwa, kenapa menjadi price taker? Saat ini pangsa pasar sawit sebesar 33%, tetapi masih ada 67 persen minyak nabati non sawit yang dapat menggantikan sawit. Itu semua bergantung kepada supply and demand,” kata Eddy.
Achmad Mangga Barani, Pendiri Forum Pengembangan Perkebunan Strategi Berkelanjutan (FP2B), mengusulkan FOSi 2023 fokus kepada spesifik tema tidak lagi membahas bersifat umum. Ada tiga pelaku sawit yaitu perusahaan negara, perusahaan swasta, dan petani dibedah titik lemahnya. Dari tiga pelaku ini apabila tidak dibenahi yang terlemah sulit kita berbenah.
“Perkebunan rakyat terus membesar karena tidak kena moratorium. Jadi, perkebunan rakyat semakin besar sekitar 42% dari data Ditjen Perkebunan. Sebenarnya melalui PIR dan program lain itu kemitraan ideal tinggal diperbaiki. Perkebunan negara dan swasta harus sama-sama berperan, jangan dibiarkan berjalan sendiri,” jelasnya.
Dirjen Perkebunan periode 2006-2010 ini menegaskan bahwa perkebunan rakyat menjadi titik lemah yang masih dapat dibenahi. Peluang pembenahan ini masih dapat dilakukan. ”Ada dananya sudah jelas dari BPDPKS melalui. Berikutnya ada kemitraan 20% dari pembangunan sawit rakyat di sekitar pekebunan swasta dan negara. Hanya memang saya ingin di pertemuan FoSI kedua dapat menyatukan. Contoh kemitraan 20% belum ada definisi sama masih berbeda-beda. Konsep dapat dibahas disitu,” paparnya.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 141)