Pendahuluan
Perang Rusia-Ukraina yang dimulai sejak tanggal 24 Februari 2022, telah membawa dinamika baru dalam pasar dunia (PASPI, 2022). Rusia merupakan Top-3 produsen minyak mentah dunia. Sementara itu, Rusia dan Ukraina juga termasuk produsen dan eksportir minyak biji bunga matahari terbesar dunia. Dengan posisinya tersebut, perang Rusia-Ukraina menyebabkan gangguan supply chain dunia sehingga berdampak pada kenaikan harga minyak mentah dan minyak nabati, termasuk harga minyak sawit.
Peningkatan harga minyak sawit dunia bukan hanya disebabkan karena Perang Rusia-Ukraina. Tren peningkatan harga tersebut telah dimulai sejak pertengahan tahun 2020. Dari sisi supply, peningkatan harga minyak sawit disebabkan produksi yang cenderung menurun. Penurunan produksi tersebut sebagai dampak dari akumulasi supply shock yang terjadi akibat anomali iklim El Nino, Pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina. Dinamika produksi dan suplai minyak nabati lainnya (minyak kedelai, minyak rapeseed dan minyak biji bunga matahari) juga turut mendorong kenaikan harga minyak sawit.
Fenomena peningkatan harga minyak mentah dan minyak sawit di pasar dunia ini memunculkan pertanyaan kritis terkait dampaknya terhadap implementasi program biodiesel. Oleh karena itu, artikel ini akan mendiskusikan fenomena kenaikan harga minyak sawit dari sisi suplai dan pengaruhnya terhadap kelayakan program biodiesel di Indonesia.
Tiga Fase Peningkatan Harga Minyak Sawit
Harga minyak sawit (CPO) dunia menunjukkan tren peningkatan dalam tiga tahun terakhir (Gambar 1). Dari sisi suplai, terdapat gangguan (supply shock) yang menyebabkan peningkatan harga CPO tersebut. Berikut tiga fase supply shock yang menyebabkan tren peningkatan harga CPO dunia selama periode tahun 2019 hingga Maret 2022.
Fase pertama adalah anomali iklim. Pada tahun 2019, Indonesia dan Malaysia mengalami dua fenomena anomali iklimya itu El-Nino dan IOD positif (PASPI, 2019). Kedua fenomena iklim tersebut menyebabkan penurunan curah hujan yang signifikan sehingga terjadi musim kemarau yang panjang dan ekstrem. Selain menyebabkan tingkat curah hujan yang rendah, kedua anomali iklim ini juga menyebabkan kebakaran hutan dan lahan. Dampak dari iklim kering dan karhutla tersebut menyebabkan produktivitas perkebunan sawit rendah.
Rendahnya produktivitas minyak sawit juga disebabkan oleh berkurang penggunaan pupuk. Perusahaan dan petani sawit kurang optimal dalam melakukan pemupukkan sebagai bentuk disinsentif akibat rendahnya harga CPO dan TBS pada tahun sebelumnya. Penurunan produktivitas minyak sawit dan ditambah dengan belum optimalnya program peremajaan kebun sawit dan berlakunya Inpres Moratorium, menyebabkan produksi minyak sawit mengalami penurunan (PASPI, 2020). Berbeda dengan Indonesia dan Malaysia yang mengalami anomali iklim El-Nino pada tahun 2019, negara produsen minyak nabati lainnya mengalami fenomena tersebut tahun 2021. Anomali iklim tersebut terjadi di negara produsen minyak kedelai seperti Argentina, Brazil dan Paraguay yang menyebabkan kekeringan sehingga berdampak pada penurunan produksi minyak kedelai dunia. Produksi minyak rapeseed Kanada dan Perancis juga mengalami penurunan akibat kekeringan.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 126)