Eksporsawit dan turunannya melemah sepanjang Mei sebagai dampak pelarangan ekspor. Kendati demikian, pengapalan sawit tetap melambat dipengaruhi serangkaian regulasi. Tata niaga sawit di dalam negeri menjadi terganggu.
Seperti telah diperkirakan dampak larangan ekspor CPO dan minyak goreng serta bahan bakunya mengakibatkan kinerja ekspor terganggu. Badan Pusat Statistik melansir data penurunan nilai ekspor sawit dari Mei tahun ini sebesar 87,72% sebagai dampak larangan ekspor dan libur Lebaran. Nilai ekspor Mei hanya US$ 284 juta, lebih rendah dari April 2022 sebesar US$ 2,99 miliar.
Dikutip dari data BPS, Pada Mei 2022, komoditas utama ekspor Indonesia mengalami penurunan secara m-to-m. Penurunan terdalam terjadi pada ekspor sawit yang turun sebesar 87,72 persen atau setara dengan US$ 2,03 miliar.
“Penurunan minyak sawit akibat restriksi dan larangan ekspor sehingga minyak sawit mengalami penurunan pada Mei 2022 ini,” ujar Setianto Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS RI dalam livestreaming Rilis BPS, Rabu (15 Juni 2022).
Imbas dari penurunan ekspor sawit berdampak kepada anjloknya ekspor segmen lemak dan minyak nabati atau kode HS 15 pada Mei 2022. Secara year on year, nilai ekspor sawit turun 87,54% pada Mei tahun ini dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar US$ 3,06 miliar.
Berdasarkan negara tujuan, ekspor sawit mengalami penurunan di sejumlah negara tradisional seperti India, Amerika Serikat, dan Pakistan. Bahkan di tidak ada sama sekali pengapalan sawit dari Indonesia ke India.
Kebijakan larangan ekspor sawit dan turunannya ini juga berdampak kepada penerimaan bea kelua. Ditjen Bea Cukai (DJBC) memproyeksikan hilangnya penerimaan bea keluar sebesar Rp 900 miliar pada Mei.
“Dengan adanya pelarangan CPO di bulan Mei, diperkirakan volume ekspor berkurang 1,6 juta ton dan nilai ekspor berkurang 2 miliar dolar. Begitu pula penerimaan bea keluar berkurang sebesar 900 miliar rupiah,” ujar Askolani, Dirjen Bea Cukai, dalam konferensi pers APBN Kita, pada akhir Mei 2022.
Per April 2022, pemerintah memperoleh penerimaan bea keluar Rp14,51 triliun atau tumbuh 102,05% dari periode yang sama tahun lalu. Pertumbuhan ini ditopang peningkatan volume ekspor dan harga komoditas, terutama produk kelapa sawit dan tembaga.
Secara bulanan, pemerintah menyebut dampak kebijakan pelarangan ekspor minyak kelapa sawit terhadap penerimaan bea keluar belum terasa lantaran baru diterapkan mulai 28 April 2022. Selanjutnya, Presiden Jokowi membuka ekspor pada 23 Mei.
Untuk mencegah ekspor sawit besar-besaran, pemerintah menerapkan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO). Kebijakan ini kembali diberlakukan menjamin ketersediaan minyak goreng. Selain memperketat, pelaku usaha juga dibebani bea keluar dan pungutan ekspor.
Terganggunya ekspor ini berdampak kepada tata niaga CPO dan TBS sawit petani. Laporan dari DPW APKASINDO di Bangka Belitung, hargaTBS di pabrik turun menjadi Rp1.450 – Rp1.700/kg. Hal ini terjadi karena PKS di Bangka Belitung banyak yang tutup karena tangki tampung CPO sudah penuh. Suplai penuh karena CPO dari pabrik sawit tersebut tidak ada yang membeli dari refineri. Argumen pabrik bahwa ekspor belum berlangsung.
Berpijak dari informasi ini, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Panjaitan optimis persoalan tadi dapat diatasi dengan skema flush out. Ia mengatakan langkah percepatan yang dilakukan pemerintah melalui mekanisme flush out atau mengosongkan tangki-tangki minyak yang penuh.
Prinsipnya jika tangki-tangki yang penuhi tu cepat dikosongkan, maka permintaan terhadap tandan buah segar (TBS) dari petani sawit dapat meningkat. Jika permintaan itu naik, maka harapannya harga TBS di tingkat petani dapat ikut naik.
Dengan mekanisme flush out yang ada ini, Pemerintah memiliki target minimal satu juta ton CPO yang dapat di eskpor dalam waktu dekat. Hal tersebut nantinya akan mendorong percepatan pengosongan tangki-tangki yang selama ini penuh, dengan harapan utama adalah ketika tangki-tangki ini penuh permintaan akan harga tandan buah segar (TBS) terhadap petani akan meningkat kembali dan tentunya diiringi oleh peningkatan harga akan TBS yang juga kembali membaik.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit indonesia, Edisi 128)