JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Industri sawit akan menghadapi tantangan berat pada tahun depan. Harga CPO diperkirakan tidak akan cepat pulih di saat lemahnya permintaan di pasar dunia.
Derom Bangun, Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesi (DMSI) mengatakan industri minyak sawit nasional akan menghadapi tantangan lebih berat terutama masalah harga. Walaupun, Proyeksi analis harga seperti James Fry dan Dorab Mistry bahwa harga mencapai US$ 750 per ton sampai pertengahan tahun depan.
“Faktor penekan harga minyak sawit adalah merosotnya harga minyak bumi di pasar internasional,” ujar Derom dalam jumpa pers tahunan DMSI, di kantornya yang berlokasi di Thamrin City, Rabu (30/12).
Derom Bangun mengatakan harga CPO CIF Rotterdam turun menjadi US$ 570 per ton pada Desember ini, dibandingkan bulan kemarin masih sekitar US$ 620 per ton. Penyebabnya, harga minyak bumi bergerak di level US$35 per barel.
“Kalau harga minyak bumi tertekan sulit mendongkrak harga CPO. Karena harga CPO bisa naik kalau ada banyak permintaan dari biodiesel. Diperkirakan harga CPO bergerak sekitar US$ 650 per ton CIF Rotterdam,” kata Derom.
Menurut Derom, apabila harga minyak bumi naik maka akan berdampak positif kepada harga yang mungkin bisa US$ 700 per ton. Di negara maju, rendahnya harga minyak bumi ini berdampak kepada penurunan pemakaian biodiesel. Konsumsi minyak kanola dan minyak kedelai yang sebelumnya banyak dipakai ke industri biodiesel mulai beraliha kepada industri makanan.
Sahat Sinaga, Wakil Ketua Umum DMSI, meminta supaya produsen hulu sawit bersiap-siap apabila harga CPO FOB Indonesia bergerak turun di level US$ 500 per ton. Sebagai solusinya, perusahaan sawit bisa memanfaatkan produk biomass pohon sawit seperti cangkang, serat, dan pelepah untuk meningkatkan nilai tamba sawit.
“Tantangannya sekarang kalau harga CPO 500 dolar, mampukah harga TBS di level 1.200 rupiah per kilogram. Disinilah pentingnya riset mengenai biomass sawit, “ ujar Sahat.