JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pemerintah tidak mempunyai kajian yang mumpuni terkait kebijakan Domestic Market Obligation DMO dan Domestic Price Obligation (DPO) sebelum diberlakukan. Kebijakan DMO dan DPO yang dikeluarkan sebaiknya dihapuskan karena menimbulkan risiko ketidakpastian dan menciptakan inefisiensi dalam perdagangan minyak sawit.
Selama lebih dari 6 bulan diterapkan, kebijakan non tariff barrier ini justru membatasi volume ekspor yang berimbas pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sejak kebijakan DMO dan DPO diberlakukan, dampak yang paling dirasakan adalah permintaan tandan buah segar (TBS) turun dan petani sawit mengalami kesulitan menjual TBS.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Tim Peneliti LPEM Universitas Indonesia, Eugenia Mandanugraha, saat menjadi pembicara dalam Webinar, yang diadakan Forum Jurnalis Sawit (FJS), pada Kamis, (16 September 2022).
Dikatakan Eugenia kenaikan harga minyak goreng selama ini bukan disebabkan ketersediaan CPO di dalam negeri, namun karena terjadinya kenaikan harga CPO di market internasional. “Naiknya minyak goreng juga dipengaruhi oleh kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang membuat produsen mengurangi suplai sehingga terjadi kelangkaan,” katanya.
Dalam penelitian LPEM Universitas Indonesia 2022 membuktikan penghentian ekspor 28 April – 22 Mei 2022 telah menurunkan Product Domestic Bruto (PDB) pada Q2 2022 sebesar 3%.
Menurut Eugenia, kebijakan DMO tidak menurunkan harga minyak goreng, namun menurunkan ekspor CPO yang pada akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi.
“Pemerintah dapat menggunakan instrumen lain berupa pungutan ekspor dan bea keluar untuk mengendalikan volume ekspor CPO. Hasil pungutan ekspor CPO seharusnya dapat digunakan untuk melakukan subsidi minyak goreng sehingga harga terkendali,” saran Eugenia.
Seperti diketahui, pemerintah telah mengumumkan pertumbuhan ekonomi triwulan II tahun 2022 sebesar 5.45%. Apabila tidak ada penghentian ekspor, maka PDB triwulan II 2022 diperkirakan sebesar 3.009 triliun rupiah atau pertumbuhan ekonomi adalah 8,5%. Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI), Tungkot Sipayung mengutarakan gonta-ganti kebijakan DMO dan DPO yang dilakukan pemerintah, berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi dan sulit dijalankan.
“Disisi lain, bongkar pasang kebijakan DMO dan DPO terbukti menghambat dan mengurangi daya saing industri sawit karena berpijak di luar kebijakan yang sudah dibangun fondasinya sejak lama,” ucapnya.
Selanjutnya, Tungkot menyarankan agar pemerintah bertahan pada mekanisme yang telah teruji selama ini yakni kombinasi antara pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK). Kebijakan ini lebih menjamin hilirisasi dan peningkatan penggunaan konsumsi domestik baik untuk energi maupun makanan dan oleokimia.
Tungkot mengatakan Kebijakan DMO dan DPO menurunkan volume ekspor, meningkatkan stok minyak sawit, menurunkan harga CPO domestik dan harga TBS sehingga merugikan petani, pelaku usaha dan pemerintah sendiri
“Misalnya, ketika harga internasional CPO naik, pemerintah tinggal menaikan pungutan ekspor, sehingga tidak perlu menunggu sampai minyak goreng menghilang dari pasar. Kalau harga CPO stabil, pungutan ekspor bisa baru diturunkan pelan-pelan,” imbuhnya.
“Kebijakan DMO dan DPO tidak diperlukan lagi di Indonesia. Apalagi, saat ini penurunan harga CPO dunia memungkinkan harga minyak goreng curah berpotensi di turun dibawah harga eceran tertinggi (HET),” pungkas Tungkot.