JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mengkritisi minimnya perhatian Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian RI, kepada petani sawit. Sudah sembilan bulan turbulensi harga Tandan Buah Sawit (TBS), tidak ada sekalipun kunjungan Sosok Mentan ke perkebunan sawit petani. Yang tampak hanya selevel Direktur, Kasubdit, dan terkahir ini Dirjenbun, sejak Defenitifnya Dirjenbun.
Curhatan ini disampaikan Dr. Gulat ME Manurung, MP, CIMA, CAPO, Ketua Umum DPP APKASINDO di sela-sela Diskusi Virtual Forum Jurnalis Sawit (FJS), Senin (3 Oktober 2022).
”Harga TBS petani terkhusus petani swadaya kembali jatuh lagi rerata Rp 1.500-Rp 1.700 per kilogram, setelah bulan September lalu sempat menyentuh Rp 2.000 . Sedangkan modalnya sudah naik rerata Rp 1.950-Rp 2.250 per kilogram karena meroketnya harga pupuk sampai 300%. Kami tekor rerata Rp 500 per kilogram. Lalu siapa yang mikirkan kami? Menteri Pertanian. Coba lihat saja, tak usahkanlah dulu kunjungan ke kebun petani sawit, tampil di media membicarakan anjloknya harga TBS petani tidak pernah. Tidak pernah, hanya mengurusi cabe, bawang dan tomat saja.
Gulat mengatakan,”Kami (petani sawit) merindukan sosok Sang Menteri Pertanian. Kami juga berhak mendapat perlindungan Bapak kami Menteri Pertanian. Karena petani sangat terjepit akibat regulasi yang datang dari Kementerian lain, tapi Sosok Menteri Pertanian tidak pernah membela kami, hanya se-level Dirjend dan Direktur yang berjibagu.”
“Malahan Menteri Perdagangan (Zulkifli Hasan) yang sering datang ke kebun sawit, sampai-sampai teman-teman Petani Sawit pernah mengira Pak Zulkifli Hasan adalah Menteri Pertanian” urainya.
Kekesalan Gulat ini lantaran petani sawit posisinya semakin terjepit di tengah berbagai kebijakan untuk menormalkan harga dan pasokan minyak goreng. Belum lagi kebijakan dari Kementerian Kehutanan yang semakin menyusahkan dan menyudutkan kami petani sawit. Lihat saja program PSR sangat lambat, terkhusus pasca terbitnya Permentan 03 2022, karena disitu banyak sekali muncul “perboden-perboden” terkait Kementerian Kehutanan. Katanya hanya 2 peryaratan PSR, tapi faktanya ada 38 persyaratan dan tahapan. Kami harus melengkapi 38 peryaratan yang sebagian berkaitan ke lintas kementerian lain, seperti KLHK dan ATR BPN, semua Kementerian ini berkantor di Jakarta. Bayangkan saja 38 persyaratan untuk selevel kami Petani sawit. Padahal berkali-kali Pak Jokowi sudah mengatakan kepada para pembantunya supaya “jangan ribet” dalam administrasi.
Administrasi minyak goreng juga demikian, kami melihat masalah minyak goreng sudah selesai, tinggal menyelesaikan dampaknya saja. ”Karena ada 17 juta petani sawit dan pekerja sawit yang dikorbankan akibat dampak kebijakan minyak goreng,” ujarnya.
Gulat menyebutkan Kementerian terkait harus melihat secara utuh melalui berbagai macam pendekatan lain. Sebagai contoh Kebijakan DMO yang selama ini membuat ketidakpastian disektor hilir dan berdampak kesektor hulu (harga TBS petani) dan diperparah Permentan 01 tahun 2018 tentang tataniaga TBS.
DMO yang mengatur wajib pasok 1 baru bisa ekspor 9 adalah penyebab ketidakpastian industri sawit. Karena situasi pada 3 bulan terakhir jauh berbeda dibandingkan Januari-Juli lalu. Pada bulan tersebut, berapapun minyak goreng dipasok pasti habis, tapi saat ini sudah melimpah, sehingga memperlambat realisasi serapan wajib pasok yang “1” tadi. Akibatnya adalah ketidakpastian penjadwalan ekspor dan kepastian kontrak penjualan ke negera tujuan. Yang menanggung semua ketidakpastian ini adalah sektor hulu (petani sawit).
Padahal Kebijakan DMO itu adalah bersifat “insidentil” karena kelangkaan minyak goreng dan pada 3 bulan terakhir dan saat ini sudah jauh berbeda. Jadi DMO itu sudah usang. Maka kebijakan yang lebih “kreatif” yang mewakili semua kepentinganlah yang diperlukan saat ini.
“Seperti misalnya opsi subsidi minyak goreng dengan menggunakan dana sawit BPDPKS, tinggal mengatur instrumen levy (pungutan ekspor) untuk mengatur neraca ekspor minyak sawit dan turunannya. Atau pemerintah memborong minyak goreng mumpung lagi murah lalu disimpan di tanki penyimpanan sebagai stok apabila harga tinggi,” tambahnya.
Di sisi lain, Apkasindo mendukung Pemerintah yang sudah melakukan terobosan melalui mempercepat pembangunan Pabrik Minyak Makan Merah (M3) skala koperasi kerjasama dengan PPKS Medan yang didukung oleh Kementerian Koperasi UKM.
“Pak Dirjenbun juga sudah “move on” ke hilirisasi melalui disain Pabrik Minyak Goreng Sawit (MGS) skala rumah tangga (home industri), tinggal menunggu action nya saja. Jadi kebijakan untuk mempercepat Pabrik M3 dan Pabrik MGS ini yang diperlukan, bukan malah sibuk dengan “rem DMO”, ujar Gulat.
“Resesi dunia sudah di depan mata, kita harus berpacu dengan waktu untuk menormalkan industri sawit Indonesia, sebab industri sawit sudah terbukti berkali-kali menyelamatkan ekonomi Indonesia, pungkas Gulat