Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) sawit dinilai tidak lagi efektif diberlakukan. Pasalnya, pasokan dan harga sawit sudah kembali normal. Di sisi lain, peningkatan ekspor sawit dapat membantu pemerintah untuk mengantisipasi resesi.
Kebijakan pemerintah mempertahankan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) berpotensi menimbulkan risiko ketidak pastian dan menciptakan inefisiensi dalam perdagangan minyak sawit.
Selama lebih dari 6 bulan diterapkan, kebijakan non tariff barrier ini justru membatasi volume ekspor yang berimbas pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Hal itu disampaikan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Eugenia Mardanugraha dalam Webinar Forum Jurnalis Sawit (FSJ) pada pertengahan September 2022.
Sejak kebijakan DMO dan DPO diberlakukan, dampak yang paling dirasakan adalah permintaan tandan buah segar (TBS) turun dan petani sawit mengalami kesulitan menjual TBS.
Hal ini, kata Eugenia, karena pemerintah tidak mempunyai kajian yang mumpuni terkait kebijakan DMO dan DPO sebelum diberlakukan.
“Karena terbukti inefiensi, Sebaliknya kebijakan DMO dan DPO dihapus. Jika ini dilakukan, otomatis, harga TBS akan naik dengan sendirinya serta produktivitas dan kesejahteraan petani meningkat,” kata Eugenia yang juga Ketua Tim Peneliti LPEM UI.
Pemerintah, saran Eugenia dapat menggunakan instrumen lain berupa pungutan ekspor dan beakeluar untuk mengendalikan volume ekspor CPO.
Hasil pungutan ekspor CPO seharusnya dapat digunakan untuk melakukan subsidi minyak goreng sehingga harga terkendali.
Eugenia juga berpendapat, kebijakan DMO tidak menurunkan harga minyak goreng, namun menurunkan ekspor CPO yang pada akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan harga minyak goreng selama ini bukan disebabkan oleh ketersediaan CPO di dalam negeri, namun karena terjadinya kenaikan harga CPO di market internasional.
Naiknya migor juga dipengaruhi oleh kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang membuat produsen mengurangi suplai sehingga terjadi kelangkaan.
Dalam penelitian LPEM UI 2022, Eugenia mengungkapkan penghentian ekspor 28 April 22 Mei 2022 telah menurunkan Product Domestic Bruto (PDB) pada Q2 2022 sebesar 3%.
Pemerintah telah mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi triwulan II tahun 2022 adalah sebesar 5.45%. Apa bila tidak ada penghentian ekspor, maka PDB triwulan II 2022 diperkirakan sebesar Rp3.009 triliun atau pertumbuhan ekonomi adalah 8.5%.
Sementara itu, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan memastikan bahwa kebijakan DMO sawit belum dihapus saat ini.”Tidak ada,” ujarnya tegas seperti dilansir dari LKBN Antara.
Ditegaskan oleh Plt Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Syailendra, bahwa DMO sawit akan tetap diberlakukan. Hal tersebut bertujuan untuk menjamin kepastian pasokan minyak sawit domestik, sehingga pasokan dan harga terjaga.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI), Tungkot Sipayung mengutarakan kebijakan DMO sawit ini idealnya berlaku di saat krisis seperti kelangkaan minyak goreng. Tujuannya menjaga pasokan dan harga minyak goreng dapat dijangkau masyarakat.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 132)