Pemerintah akan mengambil sikap tegas apabila Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) terus dilanjutkan. Standar ini dinilai menabrak aturan di dalam negeri. IPOP diminta bubar oleh banyak pihak. Ancaman pembekuan dikeluarkan pemerintah.
Dihubungi melalui sambungan telepon, Gamal Nasir, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian mengungkapkan kekesalannya dengan anggota IPOP. “Mereka itu mau apa sih, sudah jelas KPPU menolak IPOP. Begitu juga kami (Kementerian Pertanian) juga menolak,” tegas Gamal.
Standar yang dibuat IPOP, menurut Gamal, menabrak aturan yangberlaku di Indonesia. Tak hanya itu, sikap anggota IPOP yang menolak pembelian buah sawit petani bakalan menimbulkan masalah baru. “IPOP jangan buat aturan sendiri. Bahkan mau mengatur pemerintah. Negara ini tidak bisa didikte korporasi,” kata Gamal.
Sikap penolakan IPOP datang dari perwakilan petani di bawah naungan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo). Anizar Simanjuntak, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, merasa cemas hasil panen sawit petani tidak akan dibeli pabrik sawit anggota IPOP. Kekhawatiran ini diungkapkannya dalam pertemuan bersama perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Maret 2016.
“Saya bilang ke mereka (Kementerian LHK) bahwa 60 persen hasil panen sawit petani tidak laku dijual jika standar IPOP dipakai,” kata Anizar.
Menurut Anizar, masih banyak perkebunan petani yang masuk kategori bermasalah seperti kawasan hutan dan tanah gambut. Misalkan untuk perkebunan yang telah dibuka petani semenjak puluhan tahun lalu. Tiba-tiba saja ditetapkan sebagai kawasan hutan melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP).
“Kalau buah sawit petani ditolak pabrik,bagaimana nasib mereka. Yang jelas IPOP ini bukan kebijakan pemerintah melainkan pesanan negara lain. Indonesia sudah punya ISPO,” cetus Anizar.
IPOP adalah ikrar empat grup perusahaan sawit seperti Golden Agri Resources, Cargill Indonesia, Wilmar, Asian Agri yang difasilitasi Kadin Indonesia. Penandatanganan IPOP bersamaan dengan Konferensi Tingkat Tinggi PBB untuk Perubahan iklim, September 2014 di New York, Amerika Serikat.
Setahun setelahnya, IPOP menuai kritikan. Standar yang diterapkan dinilai lebih tinggi dan menghambat kegiatan pelaku sawit lainnya. Sabri Basyah, Pemilik PT Mopoli Raya, telah merasakan dampak dari penerapan IPOP. Minyak sawit yang diproduksinya tidak dibeli Wilmar dan Musim Mas – keduanya anggota IPOP. Alasannya, lahan yang sedang dibuka perusahaan di daerah Langsa, Aceh Timur melanggar standar IPOP.
Sabri menyebutkan lahan tersebut teridentifikasi bernilai stok karbon tinggi. Sehingga tidak sesuai kriteria IPOP. “ Lahan kami dikategorikan areal dengan stok karbon tinggi. Padahal, sudah berstatus HGU (red-Hak Guna Usaha),” kata Sabri.
Dalam kriteria IPOP disebutkan para anggota sepakat tidak akan membuka lahan di areal yang bernilai karbon tinggi atau High Carbon Stock (HCS). Selain itu, mereka sepakat tidak ada pengembangan baru di lahan gambut.
Yang menjadi masalah, anggota IPOP memberlakukan standar tersebut untuk semua rantai pasok produksi sawit. Artinya, penyuplai bahan baku – petani dan pabrik CPO – wajib mematuhi standar tersebut meskipun bukan anggota. Mekanisme inilah yang mengakibatkan perusahaan seperti Mopoli tidak dapat menjual minyak sawitnya.
“IPOP memakai pola pendekatan grup kepada supplier. Contohnya lahan kami di Langsa Timur yang dituding melanggar IPOP kendati belum produksi. Ketika jual hasil panen dari kebun di wilayah lain. Tetap tidak mereka terima,” keluh Sabri.
Semenjak Juli tahun lalu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sudah mengkaji pelaksanaan IPOP dalam perdagangan sawit. Masuknya KPPU bermula dari permintaan Ibrahim Senen, Konsultan Hukum KADIN Indonesia, yang meminta pengkajian dan analisa mengenai platform IPOP.
Dalam surat jawaban KPPU bernomor 184/K/X anggota IPOP./2015 pada 22 Oktober 2015 kepada KADIN Indonesia, Syarkawi Rauf, Ketua KPPU, menerangkan bahwa IPOP berpotensi menghambat masuknya pasar bagi mitra anggota IPOP. Pasalnya, ada perbedaaan signifikan antara kesepakatan IPOP dan kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang menjadi standar kriteria lingkungan perkebunan sawit di Indonesia.
(Selengkapnya baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Mei-15 Juni 2016)