JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pelaku usaha memprediksi jika Bursa Crude Palm Oil atau CPO tidak akan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa membentuk harga referensi sawit karena Indonesia merupakan produsen CPO terbesar dunia. Namun, ada beberapa prasyarat agar realisasi referensi harga bisa terbentuk.
Managing Director Sinarmas Saleh Husin mengatakan para pemain sawit harus bersatu dan regulasi pemerintah pun harus mendukung agar Bursa CPO dalam negeri menarik minat pelaku usaha.
“Kalau berdagang orang-orang akan melihat, kira-kira kalau saya pindah ke pasar B dari A kira kira menguntungkan tidak? Pedagang kan begitu,” ujar Saleh dalam talk show CNBC TV, Senin (23/10/2023).
Menurut Menteri Perindustrian periode 2014-2016 itu sebetulnya Indonesia tidak akan terlalu sulit sebagai penentu harga lantaran produsen terbesar CPO dunia, lebih dari 60 persen.
“Kita merupakan produsen 60 persen lebih tentu kalau bersatu, betul-betul punya kesatuan dan juga regulasinya itu betul betul mendukung, insentif-intensif itu menunjang, saya kira tidak terlalu lama. kalau kita kompak perdagangannya di bursa lokal tentu dengan sendirinya akan menentukan harga,” jelas Saleh.
Apabila Indonesia jadi penentu harga, dia mengatakan posisi tawar Indonesia pun akan jauh lebih kuat. Sebab, selama ini Indonesia dinilai masih lemah posisi tawar dalam perdagangan internasional.
“Kalau sudah mayoritas bertransaksi di dalam negeri, dengan sendirinya bursa di Eropa itu, Rotterdam tidak ada pengaruhnya lagi. Kan kalau bertransaksi disana, kadang mereka yang mengatur kadang bisa bisa menahan pembeli, eh jangan dulu beli sawit Indonesia. Dengan sendirinya harga jatuh. Begitu jatuh, mereka melakukan pembelian,” ungkap Saleh.
Menurutnya, Eropa sejatinya sangat bergantung dengan CPO Indonesia. Karena mereka membutuhkan CPO untuk produk hilir sawit mulai dari pangan, sabun, sampo hingga kosmetik.
“Selama ini mereka memperoleh nilai tambahnya dari sana,” ucapnya. Kendati Indonesia sudah memulai hilirasai, Saleh menilai hal tersebut belum semasif negara-negara maju dalam memanfaatkan sawit.
“Kita memang sudah bertahap melakukan hilirisasi, tapi baru tahap pertama, misalmya CPO ke tahap satu. Belum sampai ke end product. Inilah kalau secara bertahap untuk kepentingan bangsa, saya kira kita akan bisa menentukan harga,” tutur Saleh.
“Kalau kita membangung hilirisasi dalam negeri ketergantungan ekspor ke luar itu bertahap akan hilang. Dan jika hilirisasi sudah massif, kita akan jadi pemain utama penentu harga CPO global,” sambungnya.
Sebelumnya, Bursa berjangka crude palm oil atau CPO milik Indonesia telah memulai perdagangannya pada Jumat (20/10/2023). Kementerian Perdagangan menargetkan, bursa CPO akan menjadi referensi harga minyak sawit mulai kuartal I 2024 selain bursa Malaysia dan Rotterdam yang telah ada lebih dulu.
Seperti diketahui, meski Indonesia menjadi produsen minyak sawit terbesar dengan kapasitas sekitar 50 juta ton per tahun, nyatanya masih menggunakan acuan harga dari Malaysia maupun Rotterdam.
Kepala Badan Pengawas Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Didid Noordiatmoko, mengatakan, pemerintah akan menyiapkan insentif bagi para pelaku usaha yang mau melakukan perdagangan melalui bursa CPO. Lewat insentif, diharapkan semakin banyak pelaku usaha masuk bursa sehingga harga yang terbentuk semakin riil dan akuntabel.
“Ini (insentif) lagi kami godog, harapannya dalam waktu dekat terumuskan sehingga kuartal I 2024 ini bisa menjadi price reference karena makin banyak yang ikut bursa,” kata Didid di Jakarta, Jumat (20/10/2023).
Penulis: Indra Gunawan