JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kalimantan Barat menepis tudingan Dirjen Perkebunan bahwa petani sawit tidak mampu mengelola pabrik pengolahan sawit secara mandiri. Hal tersebut merespons pernyataan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, Andi Nur Alamsyah yang mensyaratkan 30 persen modal bagi petani dalam pembangunan pabrik sawit.
Ketua DPW Apkasindo Kalimantan Barat Indra Rustandi mengatakan bahwa pabrik yang dikelola oleh koperasi petani itu diisi oleh orang-orang kompeten dalam mengelola pabrik kelapa sawit (PKS).
“Kalau koperasi memang mengelola tapi pabrik koperasi itu unit usaha dalam bentuk PKS yang dioperasionalkan oleh perusahaan yang mana personelnya orang-orang berkompeten. Jadi bukan koperasi yang mengoperasikan itu pabrik,” ungkap Indra kepada Sawit Indonesia, Rabu (4/10/2023).
Dia menuturkan, koperasi petani pun di Kalimantan Barat sudah belasan tahun mengelola PKS yang skala pengolahannya di atas 1 ton per hari. “Pabrik itu kalau tidak ada bahan baku sawit pasti semua juga off biar pun manajemen mereka hebat-hebat,” imbuhnya.
Dengan terbitnya Keputusan Dirjen Perkebunan Nomor 62/2023 tersebut membuat petani sawit Kalbar merasa terkatung-kataung nasibnya. Apalagi koperasi petani sawit di Singkawang, Kalimantan Barat terancam rugi di atas Rp300 juta.
“Uang itu kita gunakan untuk biaya syarat-syarat dokumen selama setahun. tapi sampai saat ini malah keluar aturan tersebut padahal kami mengeluarkan biaya yang tidak sedikit,” ucapnya.
Sebelumnya, aturan baru Dirjenbun nomo 62/2023 ini memberikan kesempatan bagi petani yang ingin mendirikan pabrik kelapa sawit ataupun unit pengolahan minyak merah dan minyak goreng. Kapasitas yang dapat diajukan antara lain 15 ton TBS/jam, 20 ton TBS/jam, dan 30 ton TBS/jam.
Tetapi, beleid tersebut meminta petani untuk penuhi 13 persyaratan. Satu persyaratan tambahan adalah memiliki modal 30 persen dari nilai investasi.
Dirjen Perkebunan Andi Nur Alamsyah menjelaskan persyaratan modal kerja 30 persen ini bertujuan menyelamatkan petani supaya tidak terjadi masalah di kemudian hari.
“Saya bukannya meragukan petani untuk bangun pabrik kapasitas 15 ton per jam. Makanya aturan itu kita tambahkan 30 persen. Bapak kalau bangun mau pabrik, ya harus punya modal 30 persen,” kata Andi.
Ia mengatakan bahwa dana BDPKS tetap uang negara karena pungutan ekspor sawit termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dikelola BPDPKS.
”Semua ujungnya adalah manfaat. Bukan kita berhasil membangun lalu selesai tanggung jawab saya sebagai pemberi rekomtek. Atau Pak Dirut BPDPKS yang menyalurkan, tidak berhenti disitu,” kata dia.
Andi berhitung pabrik sawit berkapasitas 15 ton TBS per jam diperkirakan investasinya Rp 150 miliar.
“Mampukah petani kita mengelola itu? Makanya petani sebaiknya bangun dulu plant (red-pabrik) 1 ton per hari. Kalau ini (bagus) kita naikkan lagi kelasnya. Saya dari Teknik Kimia, biasa rancang pabrik. Kalau tak punya modal 30 persen, pasti bangkrut,” ujar Andi.
Penulis: Indra Gunawan