Forum Petani Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI) membutuhkan dukungan semua pihak dalam upaya pelaksanaan sertifikasi sawit berkelanjutan.
Narno, Ketua FORTASBI mengatakan bahwa sertifikasi sawit berkelanjutan memberikan empat manfaat antara lain meminimalisir biaya pengelolaan kebun, hasil produksi cenderung meningkat, mendapatkan penambahan hasil dari kredit (premium) untuk jangka waktu tertentu, dan memiliki rencana replanting.
Salah satu manfaat sertifikasi bagi organisasi, hubungan kemitraan semakin kuat, menjadi inspirasi bagi petani daerah lain. “Tempat belajar karena hampir setiap bulan minimal satu organisasi di wilayah lain studi banding berbagi pengalaman dengan Amanah,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam webinar bertemakan “Inovasi Sebagai Kunci Tata Kelola Sawit Inklusif dan Ramah Lingkungan” yang diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia dan Syngenta, pada 31 Maret 2022.
Narno menuturkan ada pengalaman berharga bagi petani dalam implementasi sertifikasi sawit berkelanjutan. Sebagai contoh, kelembagaan petani semakin kuat dan terorganisasi dengan baik untuk menerapkan tata kelola sawit.
“Sebelum implementasi standar sawit berkelanjutan, kami tidak mengenal tim semprot produk perlindungan tanaman. Sekarang sudah terbentuk tim semprot yang membantu petani memberikan dosis yang tepat guna dan tepat sasaran. Targetnya, dosis penggunaan perlindungan tanaman diberikan sesuai kebutuhan dan tidak berlebih dalam pemakaian. Ini artinya, kami telah membantu pelaksanaan sawit yang ramah lingkungan dan sosial,” ujarnya.
Untuk memperluas dampak sertifikasi di desa, Narno mencontohkan, dari hasil penjualan kredit di Sumatera Utara membeli ambulans yang diperuntukan tidak hanya anggota juga masyarakat. Adapula yang membuat tim semprot agar kebun petani terawat dengan baik dan ramah lingkungan.
“Kelompok tani membuat wisata pendidikan di Kalimantan Tengah, penjualan bibit sawit bersertifikat supaya tidak tertipu benih palsu di Jambi. Selain itu, mengembangkan tanaman hidroponik, membuat kerajinan, penyaluran sembako dan pemberian beasiswa anak untuk sekolah,” jelas pria kelahiran Wonogiri
Narno menjelaskan bahwa petani membutuhkan dukungan semua pihak dalam upaya pelaksanaan sertifikasi sawit berkelanjutan. Ada sejumlah program mendukung petani dalam sertifikasi ISPO dan RSPO. Pertama, integrasi sertifikasi RSPO dan ISPO di mana tiga tahun mendatang semua anggota FORTASBI akan didorong terlibat dalam ISPO dan akan berkontribusi 9.000 petani untuk ISPO.
Kedua, merancang ToT ISPO semua ICS yang tergabung dalam FORTASBI dan kolaborasi dengan Dirjen Perkebunan. Targetnya adalah 100 trainer lokal dari berbagai provinsi.
Ketiga, pilot project di Kalimantan Timur bersama GIZ untuk 4 koperasi, 4000 petani swadaya di Muba Sumatera Selatan dan 2000 petani swadaya Ketapang Kalimantan Barat, kerjasama dengan Cargill dan IDH.
Keempat, program kerjasama untuk dukungan sertifikasi RSPO dengan Asian Agri di Pelalawan dan Tebing Tinggi Sumatera Utara dengan 1.400 petani swadaya.
Kelima, kerjasama dengan RSPO untuk memperkuat sosialisasi ISPO di 6 provinsi yakni Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tiur.
Keenam, pilot project untuk mendorong implementasi sustainability (ISPO-RSPO) dalam konteks yuridiksi desa di Sintang, Pelalawan dan Tanjung Jabung Barat.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 126)