Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) mengadopsi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Herdrajat Natawidjaja Koordinator Tim Sekretariat Komite ISPO menjelaskan bahwa Indonesia memiliki komitmen dalam pembangunan berkelanjutan yang mengacu kepada UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam regulasi tersebut dijelaskan bahwa Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan.
Dijelaskan Herdrajat, terdapat empat komponen pembangunan berkelanjutan yaitu dinamis, serasi, seimbang, dan terpadu. “Ini menjadi sesuatu yang penting karena UU ini sebagai pendukung pelaksanaan sertifikasi ISPO di lapangan,” ujar dia dalam webinar bertemakan “Inovasi Sebagai Kunci Tata Kelola Sawit Inklusif dan Ramah Lingkungan” yang diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia dan Syngenta.
Adapun dimensi pembangunan berkelanjutan meliputi pembangunan ekonomi, keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. “ISPO mengadopsi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sesuai amanah Undang-Undang yakni. Dengan tiga sasaran pokok adalah ekonomi, sosial dan ekologi,” ujar Herdrajat.
Dia mengatakan, kelapa sawit berkelanjutan Indonesia sebagai usaha sistem perkebunan sawit Indonesia ramah lingkungan, layak secara ekonomi dan sesuai perundangan yang berlaku.
Implementasi ISPO sejak tahun 2011, diawali Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.19 Tahun 2011 dan diperkuat dengan lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. “ISPO wajib bagi perusahaan dan pekebun sawit,” ujar dia.
Ada perbedaan sistem sertifikasi dalam pelaksanaanya sekarang karena sertifikasi 100 persen dilakukan oleh lembaga Sertifikasi (LS) ISPO secara independen. “Sebelumnya masih ada komunikasi dengan Sekretariat Komisi ISPO. Namun sekarang sepenuhnya independen dilakukan LS ISPO sendiri,” terang Herdrajat.
Kemudian dibentuk Dewan Pengarah dan Komite ISPO yang melibatkan Gubernur, Bupati dan Walikota untuk ikut melakukan pembinaan dan pengawasan di wilayah masing-masing. “Jadi harapannya ISPO menjadi lebih kuat,” ujar dia.
Tujuan sertifikasi memastikan dan meningkatkan pengelolaan serta pengembangan perkebunan kelapa sawit sesuai prinsip dan kriteria ISPO. Kedua, meningkatkan keberterimaan dan daya saing hasil perkebunan kelapa sawit di pasar nasional maupun internasional. Ketiga, meningkatkan upaya percepatan penurunan emisi gas rumah kaca.
Tercatat, ada 4 aspek dan 7 prinsip ISPO sesuai Perpres No.44 Tahun 2020 yaitu aspek legalitas, ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan.
Sementara itu, 7 Prinsip ISPO terdiri dari legalitas usaha perkebunan, penerapan praktik perkebunan yang baik, pengelolaan lingkungan hidup, sumber adaya alam dan keanekaragaman hayati, tanggung jawab terhadap ketenagakerjaan, tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, transparansi, dan peningkatan usaha secara berkelanjutan.
Penerapan prinsip dan kriteria (P&C) ISPO perusahaan perkebunan terdiri 7 prinsip. “ISPO ini mengadopsi peraturan menengenai lingkungan hidup dan semua perusahaan harus mengikuti dan lolos dari 9 kriteria yang ada,” jelas Herdrajat.
Selain itu, kata dia, tanggung jawab terhadap pekerja, semua harus mengikuti ketentuan, tidak diperkenankan anak di bawah umur bekerja di kebun sawit. Kemudian penghormatan pada isu gender.
“Tangung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat yaitu industri sawit melihat ekoomi masyarakat lokal setempat dan pemberdayaan penduduk asli,” tambah dia.
Sedangkan pekebun memiliki 5 prinsip diantaranya: Pertama, kepatuhan terhadap peraturan dan perundangan. Kedua, penerapan praktik perkebunan yang baik. Ketiga, pengelolaan lingkungan hidup, sumber daya alam dan keanekaragaman hayati. Keempat, transparansi. Kelima, peningkatan usaha berkelanjutan.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 126)