Pemerintah diminta mengkaji ulang penghentian sementara (moratorium) penerbitan izin baru kelapa sawit. Kebijakan ini menciptakan efek negatif kepada sektor bisnis yang secara langsung dan tidak langsung berkorelasi dengan sawit.
Azharuddin M. Amin, Ketua Prodi Magister Manajemen Agribisnis Universitas Islam Riau (UIR), mengatakan sebenarnya kebijakan moratorium butuh pendalaman lebih matang sebelum benar-benar diterapkan. Dalam analisanya, penghentian sementara pemberian ijin lahan baru sawit akan berdampak secara sistemik. Akibatnya, aktivitas perekonomian nasional menjadi terganggu.
“Apabila moratorium terjadi akan berdampak terhadap produktivitas, distribusi, retribusi, marketing dan peruntukkan lahan sawit,” kata Azharuddin dalam diskusi Dampak Moratorium Kelapa Sawit Terhadap Perekoonomian, di Riau, pada awal Juni.
Andaikata moratorium diberlakukan, menurut Azharuddin, akan terjadi penurunan modal dan biaya produksi industri sawit. Upaya pemangkasan biaya produksi salah satunya melalui pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada pekerja . “Dampak kelanjutannya adalah ketersediaan pekerjaan semakin menurun sama halnya dengan pembiayaan. Yang akan dirasakan modal perusahaan tergerus dan situasi ini membuka peluang angka penggangguran bertambah,” ujarnya.
Dari riset Azharuddin bahwa persoalan moratorium menyebabkan tidak adanya lapangan pekerjaan di tanah air. Sebagaimana terjadi di Riau pada 2015 di mana penurunan harga komoditas semakin meningkatkan angka pengangguran.
Ini terlihat pada 2014 angka pengangguran di Riau sebesar 176.762 jiwa. Jumlah ini terus bertambah menjadi 217.053 jiwa pada 2015. “Memang, ada pertumbuhan pekerjaan. Tapi, jumlahnya menurun. Disinilah bisa terjadi naiknya pengangguran,” jelasnya.
Pemerintah sebaiknya berhitung dampak kebijakan moratorium kepada harga. Pasalnya, harga sawit menjadi sulit dikontrol. Efek lanjutannya berpengaruh kepada sektor ekonomi lain. “Pada 2015, industri sawit telah memperbaiki permintaan ekonomi sehingga mendorong industri pertanian. Artinya, seluruh sektor ekonomi amat bergantung dengan sawit,”tambahnya.
Selain itu, merosotnya harga komoditas tersebut dipengaruhi oleh rendahnya harga minyak bumi dan sawit yang mempengaruhi perekonomian wilayah ini. “Pertumbuhan pada 2010-2014 sangat membaik tapi tahun berikutnya anjlok sekali. Bayangkan saja, pertumbuhan industri migas kita hanya 0,22 persen dan non migas sebesar 2,21 persen. Itu semua tercatat dalam sejarah,” ungkapnya.
Berdasarkan data PDRB sektoral 2015, pertanian termasuk di dalamnya usaha sawit menjadi sektor ekonomi strategis dan potensial dengan persentase harga konstan sebesar 24,27 dan harga berlaku sebesar 24,27. Mengalahkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di bidang pertambangan, perdagangan mobil, mobil dan konstruksi.
Menurutnya, berkah dari industri sawit dirasakan tidak sebatas di Pulau Sumatera melainkan sampai ke daerah Jawa. Manfaat berasal dari kehadiran industri pengolahan minyak sawit yang sebagian besar berada di Jawa. Berdirinya industri hilir menumbuhkan angka kesempatan kerja.
“Industri ini berkontribusi sampai ke Pulau Jawa, artinya sawit dari Riau, tetap saja pengelolaan dan penetapan harga di Jawa. Karena mayoritas memang berkembang di sini,” ungkapnya.
Oleh karena itu, kebijakan moratorium dapat menurunkan produktifitas sawit akan berdampak besar dengan merosotnya pendapatan petani maupun pengusaha sawit. Dampaknya juga akan meluas hingga perekonomian nasional lantaran banyak wilayah-wilayah di Indonesia bergantung dengan komoditas ini. “Bagaimana kalau ini benar-benar diterapkan, dengan adanya moratorium posisi industri sawit bisa gantung. Ini yang harus menjadi perhatian pemerintah karena pengaruhnya sampai ke aspek sektoral lainnya,” jelasnya.
(Ulasan lebih lengkap baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Juli-15 Agustus 2016)