Penulis: Dr. Gulat ME Manurung, MP, CAPO*
Pembenahan tata kelola persawitan masih panjang, termasuk sawit-sawit rakyat yang ada di dalam kawasan hutan. Hingga kini, penyelesaian masalah kebun sawit rakyat di kawasan hutan belum ada kejelasan, sekalipun sudah terbit regulasi UU Cipta Kerja dan turunannya. Disaat bersamaan legalitas lahan satu hal mendasar bagi petani, baik untuk kepastian hukum namun juga keperluan pengembangan atau investasi lainnya.
Kebijakan dan regulasi belum menjawab sengkarut pengelolaan sawit rakyat, hingga rakyat jadi subjek paling dirugikan dengan konflik sawit dalam kawasan hutan. Faktanya sudah berjalan 6 bulan PP UUCK ini. Lalu sudah berapa persen yang sudah terselesaikan dari 3.379.453 ha?
“Pemerintah dalam hal ini Kementerian terkait, sebaiknya memperhatikan bagaimana implementasi instrumen hukum dan kebijakan yang sudah dibuat untuk memastikan penyelesaian masalah sawit rakyat dengan menyasar langsung pada akar masalah. Sebenarnya sederhana sekali dalam menyelesaikan masalah ini karena tidak perlu menggunakan APBN dan APBD.
Takterbantahkan lagi, bahwa ekonomi Indonesia sangat tergantung dengan agribisnis dan agroindustri kelapa sawit. Bukan hanya dimasa pandemic=covid ini, sejak krismon 1998 sawit juga merupakan penyelamat ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, regulasi yang sudah dibuat dan akan dibuat harus melindungi dan memproteksi dari berbagai gangguan dan ancaman keberlangsungan aspek ekonomi, sosial dan ekologi kelapa sawit ini.
Saya memandang jauh kedepan bahwa permasalahan klaim hutan terhadap perkebunan kelapa sawit ini tidak akan terselesaikan dengan batas waktu 3 tahun sejak diundangkannya PP-UUCK. Namun kita sudah terkunci dengan batas ini dan disebut dalam UUCK. Banyak persoalan sesungguhnya bola panas berada di Kementerian LHK, ATR/BPN dan Kementerian Pertanian. Kita tidak bisa melihat kondisi setelah jadi perkebunan kelapa sawit, tapi harus melihat jauh kebelakang, mengapa itu terjadi ?.
Untuk memilah persoalan ini menjadi terurai berdasarkan tipologi mengapa di sana ada pekebunan kelapa sawit. Maka saya tertarik untuk meneliti lebih rinci kelapa sawit rakyat dalam Kawasan hutan pasca terbitnya UUCK dan turunannya.
Asumsi yang saya bangun adalah bagaimana kondisi eksisting perkebunan kelapa sawit yang masih terjebak dalam istilah Kawasan hutan. Selanjutnya setelah kita ketahui kondisi eksisting, maka dilihat apakah usaha budidaya kelapa sawit rakyat ini sustain dari aspek ekologi, ekonomi dan tata kelola hukum? Jika memang kondisi eksisting pekebun ini sangat baik secara ekonomi keluarga, keterlibatan masyarakat cukup banyak, manfaat sosialnya cukup baik, aspek keanekaragaman hayati terjaga dan aspek budidaya kelapa sawit yang dilakukan pekebun juga sudah masuk kategori baik. Maka hal ini patut diperjuangkan dan dilanjutkan, sekalipun perkebunan sawit rakyat tersebut masih di klaim dalam kawasan hutan.
Nah untuk memastikan aspek kondisi eksisting ini memang layak untuk dilegalkan secara status kawasan, maka saya melakukan uji keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat ini. Memang lokasi penelitiannya cukup luas, yaitu 9 Kabupaten/Kota dari 12 Kabupaten Kota di Riau. Memang harus luas, saya tidak mau mengambil 2-3 kelompok lalu menggeneralisasi keseluruhan.
Hasil uji keberlanjutan dengan indikator 4 dimensi yaitu Dimensi Ekologi, Ekonomi, Sosial dan Hukum Tata kelola diketahui bahwa dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial, perkebunan kelapa sawit rakyat sudah masuk indikator berkelanjutan. Ini menjadi catatan penting bagi saya sebagai peneliti. Dari ketiga aspek dimensi ini yang paling luar biasa ternyata skor nilai keberlanjutan dari aspek sosial yang paling tinggi. Apa artinya ini ? bahwa kelapa sawit adalah tanaman kerakyatan dan berdampak luas. Hampir sama dengan tanaman padi lah.
Dari 4 dimensi perkebunan sawit rakyat, maka hasil penelitian ini hanya terbentur di aspek hukum tata kelola. Artinya jika masalah sawit yang diklaim dalam kawasan hutan ini bisa diselesaikan maka sawit rakyat secara keseluruhan akan menjadi tanaman pertama di dunia yang sangat bersahabat dengan semua aspek dimensi kehidupan. Mana ada tanaman dimuka bumi ini yang sebaik sawit dan kita faktanya hidup 24 jam bersama produk yang berbahan baku sawit.
Tentu ini menjadi tantangan bagi saya untuk memadu serasikan antara kekuatan sawit dari aspek ekonomi, sosial dan ekologi dan hambatan dari aspek legalitas.
Yang pertama saya bedah terlebih dahulu adalah mengenai UUCK dan Turunannya. Ternyata UUCK ini tidak menyelesaikan masalah secara keseluruhan terhadap persoalan sawit rakyat dalam Kawasan hutan. Dari pemilahan saya, bahwa UUCK ini hanya menyediakan 4 tipologi penyelesaian permasalahan secara umum.
Tipologi Pertama adalah Pekebun yang dalam kawasan hutan tapi memiliki STDB (surat tanda daftar budidaya) maka dapat diselesaikan (dikeluarkan dari kawasan hutan) melalui mekanisme Pasal 110A setelah membayar biaya PSDH-DR. (Provisi Sumber Daya Hutan – Dana Reboisasi).
Tipologi Kedua adalah Pekebun yang dalam Kawasan hutan tapi tidak memiliki STDB, maka diawajib membayar denda administrasi sebagaimana ketentuan Pasal 110B, kemudian setelah denda tersebut dibayar, pemerintah memberikan izin untuk melanjutkan kegiatan perkebunan di Kawasan hutan produksi selama 1 (daur) atau 20 tahun. Sedangkan apa bila kebunnya berada di Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Konservasi, maka areal tersebut wajib dikembalikan kepada negara. Ini berarti mekanisme yang diatur dalam Pasal 110B tidak memungkin bagi petani untuk memiliki lahannya.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 119)