JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Direktur Pusat Sains Kelapa Sawit Instiper, Dr. Purwadi mengungkapkan tantangan besar dalam industri sawit saat ini adalah kelembagaan petani yang masih lemah. Jika hal itu tidak diselesaikan pemerintah, keberlanjutan industri sawit akan terancam.
Daya saing perkebunan dan industri kelapa sawit merupakan keragaaan industri mulai dari kebun hingga produk hilirnya, namun demikian harus disadari bahwa titik awal daya saing ada di kebun, dan jika daya saing di kebun bagus maka di hilir akan tetap berdaya saing, demikian dapat terjadi sebaliknya. Ingat industri hilir sawit itu paling banyak macam dan jenis produk indutri hilirnya dibandingkan minyak nabati lain, jadi jangan bicara industri hilir sawit jangan sekedar menghasilkan CPO dan minyak goreng.
“Industri di sawit itu pelaku ada dua, perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Perkebunan udah akan mencari jalan sendiri untuk membangun daya saingnya, tapi bagi perkebunan rakyat yang terdiri dari ratusan ribu petani, itu harus dibantu oleh pemerintah dengan meningkatkan kapasitasnya melalui kelembagaan yang tangguh. Sampai saat ini pemerintah terkesan lambat dan barangkali abai dalam membangun kelembagaan petani,” ujar Purwadi dalam acara Special Dialog CNBC Indonesia, Kamis (16/11/2023).
Awalnya, Purwadi menuturkan jika daya saing industri sawit harus terus ditingkatkan. Sebab, sawit berhadapan dengan komoditas minyak nabati non sawit dari berbagai belahan dunia. Oleh sebab itu, baik dari sisi perkebunan sudah saatnya melakukan transformasi proses produksinya.
“Perkebunan sawit harus bertransformasi dari mengandalkan kelimpahan sumberdaya lahan dan tenaga kerja murah, dengan mengarah pemanfaatan teknologi dan SDM terampil serta data peramalan iklim. Kondisi Iklim seperti El Nino, tidak boleh dijadikan alasan klasik kegagalan produksi. Perkebunan sawit kita selama ini hanya mengandalkan kondisi iklim sebagai karunia Tuhan. Kalau produksi baik itu karunia Tuhan dan kalau jelek kambing hitamnya iklim. Padahal iklim sekarang sudah “predictable”, maka manajemen dan proses produksi bisa “controllable”” ujarnya.
Sekali lagi, kata Purwadi, harus disadari oleh semua pihak jika faktor kunci daya saing perkebunan dan industri berbasis sawit terutama ada di perkebunan atau hulu terlebih dahulu.
“Daya saing sawit itu bukan di hilir tapi di farm dulu. Hilir itu kan urusan proses transformasi dari biomass yang dihasilkan TBS sawit ke produk lain. Kalau industri biomasa-nya (farmnya) tidak kompetitif, otomatis industri hilirnya akan sulit kompetitif,” tuturnya.
Menurutnya, sektor hulu terutama peningkatan kapasitas petani belum meperoleh perhatian sungguh-sungguh oleh pemerintah selama ini. Hal ini terbukti dengan kapasitas kelembagaan petani yang sangat lemah.
Purwadi mengatakan, kebijakan apapun yang dibuat pemerintah tidak berjalan jika kelembagaan petani sawit seperti sekarang. Misalnya, bantuan sarana prasarana, pupuk hingga program peremajaan sawit rakyat/replanting yang saat ini tidak berjalan lancar dan bahkan sulit di laksanakan. Artinya Kebijakan menjadi tidak efektif dalam implementasinya di lapangan.
“Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan prioritas utama membangun kelembagaan petani. Kalau mau jujur, pemerintah hari ini kurang perhatian atau mungkin abai dalam membangun kelembagaan petani ini. Padahal dana sawit yang terkumpul dapat disalurkan untuk membantu petani meningkatkan kapasitasnya. Kelembagaan yang kuat juga akan membantu daya tawar dalam pembelian pupuk dan sarana pertanian termasuk juga daya tawar dalam penjualan TBS. Dukungan pemerintah untuk petani sawit ini menjadi tidak lancar, tidak mencapai target karena tidak tersedia data dan kelembagaan petani yang baik,” jelas dia.
Contoh kebijakan kemitraan melalui kelembagaan yang tangguh, dan kebijakan ini sudah berjalan barangkali lebih dari 50 tahun tapi sampai saat ini kemitraan melalui kelembagaan petani baru 5 persen.
“Kalau dikatakan pemerintah punya kebijakan, tapi kebijakan tidak berjalan dengan baik setelah sekian lama baru 5 persen, barangkali ada yang salah. Ada yang perlu diperbaiki, artinya kebijakan perlu dikaji kembali, dikoreksi dan diperbaiki agar pelaksanaan di lapangan berjalan efektif atau buat kebijakan yang baru yang lebih implementatif agar efektif,” pungkas Purwadi.
Penulis: Indra Gunawan