Dari tahun 1965 sampai 2013, pertumbuhan luas perkebunan kelapa sawit masih di bawah luas lahan kedelai. Saat ini, luas perkebunan sawit 13,4 juta hektar sementara itu lahan kedelai 85,45 juta hektar. Mengapa kelapa sawit kerapkali dituding penyebab utama deforestasi?
Rencana pemberlakuan kebijakan moratorium ijin baru sawit tidak dapat diterima pelaku usaha sawit di daerah. Seperti dikatakan Saut sihombing, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Riau bahwa moratorium lahir dengan alasan kelapa sawit yang menjadi penyebab utama kebakaran hutan dan kerusakan lingkungan. Padahal, data menunjukkan kelapa sawit tidak seekspansif tanaman minyak nabati lain seperti Sebab menurutnya dibanding komoditas penghasil minyak nabati lain seperti kedelai, rapeseed, dan bunga matahari.
Merujuk data PASPI dalam periode 1965 hingga 2013 luas areal tanaman kedelai meningkat mencapai 85,45 juta hektar, rapeseed meningkat sebesar 29,31 juta hektar, dan bunga matahari meningkat sebesar 18 juta hektar.
Pada 2013, total luas empat komoditas tanaman penghasil minyak nabati seluas 191 juta hektar. Dari jumlah tersebut, sekitar 58 persen atau seluas 110 juta hektar adalah lahan kedelai.
“Sementara itu, ekspansi perkebunan kelapa sawit dunia jauh lebih rendah. Sejak 1965 hingga 2013, ekspansi sawit hanya meningkat sebesar 13,4 juta hektar,” ungkap Saut.
Alih-alih melakukan moratorium, menurut Saut, pemerintah seharusnya mampu melindungi dan meningkatkan daya saing industri sawit. Perlindungan ini diperlukan karena kebutuhan minyak nabati tumbuh 4,4 juta ton setiap tahun dan diperkirakan pada 2025 kebutuhan minyak nabati dunia mencapai 44,2 juta ton.
Diantara minyak nabati yang ada, dijelaskan Saut, bahwa minyak sawit merupakan minyak nabati yang paling produktif, murah dan berdampak kecil kepada lingkungan. Dan diantara negara-negara penghasil minyak nabati di dunia, Indonesia satu-satunya negara yang memiliki kesempatan untuk dapat meraih manfaat dan kesempatan dari meningkatnya permintaan dunia terhadap minyak nabati.
Dampak positifi kelapa sawit adalah industri ini berperan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat. Di Riau, total luas perkebunan sawit sebesar 2,4 juta hektar dari jumlah tersebut sekitar 56 persen atau 1,35 juta hektar perkebunan rakyat.
Menurut Saut pendapatan yang diterima petani sawit baik swadaya maupun plasma di Riau bisa dua kali lipat dibandingkan dengan petani non sawit. “Dahulu sebelum ada perkebunan sawit akses jalan itu sangat susah, tapi begitu ada perkembangan kelapa sawit tentu semua masyarakat menikmatinya,” tambah Saut.
Tak hanya dari pekerjaan informal, menurut Saut industri sawit menyediakan lapangan kerja formal kepada masyarakat. Saut mencatat pada 2015 ada sekitar 7 juta orang yang bekerja di industri sawit baik dari lini perkebunan, industrinya, hingga industri hilir.
“Kalau semisalnya moratorium atau penundaan benar diterapkan dan sampai mengganggu industri kelapa sawit dapat dibayangkan nasib 7 juta orang yang bekerja di industri ini,” lanjut Saut.
Saut memaparkan bahwa moratorium juga memiliki dampak terhadap penurunan produksi CPO dunia yang akhirnya turut menggangu kebutuhan minyak nabati global. Sebab pelaku usaha tidak bisa terus menerus mengandalkan peningkatan produktivitas lahan.
(Ulasan lebih lengkap baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Juli-15 Agustus 2016)