JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Petani sawit berpendapat pungutan ekspor perlu dilanjutkan dengan catatan ada sejumlah perbaikan. Perbaikan ini perlu dilakukan guna menghasilkan formula pungutan ekspor yang adil dan sesuai kondisi lapangan.
“Selain itu, revisi skema (pungutan) untuk menghindari inkosisten penerapannya. Karena selama ini mengikuti perubahan harga referensi setiap bulan,” kata Gulat ME Manurung, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) saat berbincang di Jakarta, pekan lalu.
Menurut Gulat, pungutan ekspor perlu mempertimbangkan konsistensi pengenaan dalam periode tertentu misalnya setiap 3 bulan supaya ada kepastian bagi pelaku usaha, baik petani, pedagang termasuk pabrik kelapa sawit (PKS), juga eksportir. Itu sebabnya, sangat merepotkan jika tidak ada kepastian secara periodik untuk pungutan ekspor ini.
“Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.05/2018 memang patut untuk ditinjau kembali,” jelasnya.
Dijelaskan Gulat, ada tiga point penting yang harus diperhatikan jika PMK ini direvisi. Pertama, ditetapkannya system periodik besar kecilnya potongan ekspor. Kedua ditinjaukembali harga terbawah (threshold) dari harga referensi yang akan dikenakan pungutan dan ketiga, penetapan pungutan ekspor CPO tanpa menggunakan threshold artinya pungutan tetap ada berapun harga CPO per tonnya.
“Jadi menurut saya, pungutan ekspor yang tertuang dalam PMK No 152 harus ditinjau kembali. Jika dulu asumsinya bahwa penghilangan potongan eksport akan mampu menaikkan harga TBS ditingkat petani (khususnya) nampaknya berdampak hanya sementara,” ungkapnya.
Menurut Gulat, penghapusan sementara pungutan ekspor kurang terasa pengaruhnya kepada harga TBS petani dalam jangka panjang. “Setelah (pungutan) dihilangkan, harga CPO secara perlahan turun dan bertahan dibawah US$ 570 per ton. Situasi ini berdampak kepada turunnya harga TBS, jadi manfaat jangka panjang (pungutan) tidak ada,” pungkasnya.