Munculnya polemik pabrik kelapa sawit (PKS) tanpa kebun dianggap akan selesai apa bila pemerintah justru mewajibkan semua PKS bermitra dengan petani. Dengan bermitra, maka semua pasokan TBS dipastikan akan berasal dari petani mitranya tanpa terkecuali.
Ketua Umum APKASINDO Dr. Ir. Gulat Manurung, MP, CIMA, CAPO mengatakan justru ini adalah peluang Kementerian Pertanian (Kementan) untuk berperan melakukan penertiban melalui mandatori kemitraan lewat revisi Permentan 01/2018. Jika PKS tanpa kebun ditertibkan, justru akan memberi dampak negatif kepada petani swadaya.
“Usul kami ini sangat menguntungkan semua pihak yaitu adanya kepastian pasokan TBS dan PKS yang selama ini tertib melakukan kemitraan (Plasma-Inti) tidak pusing dengan ‘godaan’ PKS non kebun. Kalau tidak dimandatorikan, maka petani swadaya yang luasnya 93% dari 6,87 juta hektar akan menjadi korban,” tuturnya, Rabu (17/4/2024).
Bukan tanpa sebab, Gulat menjelaskan faktanya selama ini harga TBS petani swadaya dibeli oleh PKS-PKS selalu di bawah harga acuan dinas perkebunan di 22 Provinsi APKASINDO. PKS tanpa kebun yang justru membeli dengan harga yang lebih tinggi.
“Kalau yang merasa dan benar-benar petani sawit, pasti merasakan kebermanfaatan PKS jenis ini [PKS tanpa kebun],” ujar Gulat.
Dia menilai, jika ada keinginan membatasi PKS itu jelas bertujuan monopoli. Gulat pun menepis apa bila kehadiran PKS tanpa kebun kerap mengganggu PKS bermitra karena mengambil TBS pekebun mitra.
“Tidak bodoh investor bangun PKS jika pasokan TBS tidak memungkinkan, tinggal plotkan saja mana mitranya, lalu ikat dan umumkan,” tambah Gulat.
Jika PKS wajib bermitra, Gulat mengatakan harus ada regulasi yang memandatorikan semua PKS wajib bermitra tanpa kecuali.
Negara melalui Kementan, tegas Gulat, tidak bisa hanya melindungi yang 7% saja (petani plasma) sebagaimana Permentan 01/2018 hanya menyebut petani bermitra (plasma dan mitra swadaya). Aturan ini akan menjadi petani swadaya non mitra menjadi ‘tumbal’.
“Cukup sudah selama ini petani swadaya dipecundangi oleh PKS-PKS yang memiliki Inti dan Plasma dan PKS-PKS Non Kebun, negara harus melindungi kedua tipe logi petani sawit melalui mandatori tadi,” ucap Gulat merespon Surat Edaran Direktorat Jenderal Perkebunan kepada gubernur, bupati dan walikota untuk melakukan pemantauan terhadap PKS di wilayahnya.
Gulat justru berharap Kementan mengemban amanah negara untuk menolong petani sawit swadaya khususnya yang luasnya 93% dari total luas perkebunan rakyat (6,87 juta ha).
“Anda bisa bayangkan betapa memprihatinkannya nasib petani sawit swadaya dimana selisih harga Disbun rerata Rp500-1000/kg, belum lagi kejamnya potongan timbangan wajib di PKS rerata 5-15% dan ini sudah berlangsung puluhan tahun. Mari buka mata dan telinga,” lanjut Gulat.
Terkait kemitraan pun, lanjut dia, dari 1.118 PKS di Indonesia, hanya 7 pabrik sawit yang bermitra dengan petani swadaya (mitra swadaya) dan itu hanya di Riau yang jumlah PKS di Riau ada 326 PKS.
Dikatakannya, dalam kemitraan selama ini terdapat juga masalah, terlihat kemitraan antara PKS dengan petani (plasma) terus menurun jumlahnya. Tahun 1990-2000-an, petani bermitra mencapai 1,7 juta hektar (ha). Saat ini hanya kurang lebih 400.000 ha. Artinya, menurutnya konsep kemitraan harus dievaluasi sesuai dinamika hulu-hilir sawit dan petani sawit generasi kedua.
“Di Indonesia, menurut catatan kami, ada 1.118 PKS (2019). Hanya 20-28% PKS yang melakukan kemitraan dengan petani [Mitra Plasma/Mitra Swadaya]. Lalu Apakah PKS yang 72% tadi harus ditutup? Bisa-bisa berbahaya sekali,” ujar Gulat.
Oleh sebab itu, di saat sudah terlanjur berdiri PKS-PKS tanpa kebun. Maka justru yang menjadi tugas Kementan adalah mewajibkan (mandatori) bagi semua PKS (tanpa kecuali) untuk bermitra dengan Petani melalui revisi Permentan 01/2018. Kalau ketahuan membeli TBS bukan dari mitranya baru cabut izinnya.
“Konsep ini akan berdampak positif, dimana semua harga di PKS wajib mengacu keharga disbun (Harga Mitra).”