Standar ISPO sejatinya tetap sukarela untuk petani. Skema ISPO baru belum menganut mekanisma supply chain traceability. Ancaman bagi produk petani yang belum bersertifikat ISPO. Kalau pasar tidak meminta petani wajib ISPO, lalu untuk apa dibuat?
“Standar itu merupakan ukuran kemampuan bangsa ini. Bukan berdasarkan kemauan pemerintah,” kata Rosediana Suharto, Direktur Responsible Palm Oil Initiative. Hal ini diungkapkannya dalam Dialog Ngeriung Bicara Sawit (NGEBAS) seri-IV bertemakan “Mandatori ISPO: Petani Mau Dibawa Kemana?”, yang diselenggarakan Majalah SAWIT INDONESIA dan DPP APKASINDO, Rabu (30 Juli 2020). Pembicara yang hadir antara lain Diah Suradiredja ( Senior Advisor KEHATI), Rismansyah Danasaputra (Perwakilan Lembaga Sertifikasi).
Dalam pemaparannya, Rosediana menjelaskan bahwa terdapat beberapa skema sustainability yaitu RSPO 2013, RSPO 2018, MSPO, ISPO 2015, dan ISPO 2020 (draft). Skema RSPO menitikberatkan tiga aspek yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan. Karena mencapai 3 P’s menuju Profit, People and Planet. Tujuan 3P ini dengan pertimbangan anggotanya memenuhi persyaratan ketiga aspek tadi. The three bottom lines digunakan perusahaan untuk mengukur financial, social and environment performance dari satu perusahaan setiap waktu.
“Di sektor sawit, kita menuju SDG’s di sektor pertanian. Bukannya menuju kepada SDG’s di bidang lain,” ujar Rosediana.
Di ISPO 2020, dikatakan Rosediana, bahwa standar ini punya pertimbangan tiga elemen sama tetapi kurang memperhatikan ekonomi. Dalam rancangan permentan ISPO tersebut, standar yang dijalankan dibuat dalam satu kategori. Tidak membedakan antara petani swadaya dan plasma. Padahal, European Union’s Renewable Energy Directive II (EU RED II) memberikan perhatian lebih besar kepada petani swadaya dibandingkan plasma; diberikan perbedaan perlakuan.
Rosediana Suharto mengaku heran mengapa Petani Swadaya dan Petani Plasma disamakan dalam ISPO. Konsep ISPO untuk petani swadaya (smallholder) tidak boleh dimasukkan dalam satu kategori dengan Petani Plasma, itu jauh berbeda. Yang paling dirugikan dalam hal ini adalah pekebun swadaya yang menghadapi tantangan legalitas lahan, itu faktanya, belum lagi persyaratan lainnya.
“Semenjak 2011, saya ingin ISPO dapat mengarah kepada SNI (red-Standar Nasional Indonesia). Sebab, UU BSN dan PP Komite Akreditasi Nasional mengatur supaya barang beredar di Indonesia harus SNI. Seharusnya ISPO menjadi SNI dengan tidak berdiri sendiri seperti sekarang. Di luar negeri, mereka tahu standar Indonesia adalah SNI,” ujarnya.
Dalam rancangan ISPO sekarang ini juga tidak menganut sistem rantai pasok dan traceability (kebertelusuran). Nantinya, persoalan ini akan mempersulit anggota ISPO untuk menjual produk sawit dari beberapa sumber. Sementara itu, sistem sertifikasi yang diterapkan oleh RSPO dan MSPO serta ISPO 11/2015 mempunyai sistem sertifikasi P&C dan sistem sertifikasi rantai pasok (supply chain certification) untuk transparency menganut supply chain traceability.
Dijelaskan Rosediana Suharto bahwa penjualan termasuk ekspor umumnya dilakukan secara fisik sesuai model penjualan rantai pasok yang diinginkan pembeli. Sebagai contoh, negosiasi antar anggota RSPO yaitu pembeli manufacturer dan trader dengan produsen disetujui bahwa pembeli akan memberi produsen sejumlah premium diatas harga sebenarnya, tergantung tingkat sustainability harga dari produk yang diperdagangkan.
“Rancangan ISPO 2020 ini berpotensi meninggalkan petani dalam sistemnya. Karena tidak menganut supply chain traceability. Sistem ini melibatkan petani di dalam supply chain terdapat tiga model perdagangan,” ujarnya.
Lebih lanjut Rosediana menerangkan sistem sertifikasi supply chain terdapat 3 model cara memperdagangkan minyak sawit yang bersertifikasi supply chains. Pertama, Indentity Preserve (CPO berasal dari satu kebun dan satu mill 100% sustainable). Kedua, segregassi (CPO) bersertifikat berasal dari beberapa mill 100% Sustainable.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 106)