JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kalau petani mampu memiliki pabrik pengolah TBS, kenapa tidak? Gagasan ini disampaikan Dr. Purwadi Direktur Pusat Sains Kelapa Sawit Instiper. Dalam pandangannya, pembangunan pabrik oleh siapapun tujuan utamanya adalah untuk membangun nilai dari rantai pasok yang efisien. Tantangan utamanya bagaimana memperkuat dulu kelembagaan petaninya. Karena pabrik dibangun bukan secara perorangan melainkan kelembagaan petani. Kalau kelembagaan petani bersatu, kompak dan menjadi kuat, maka membangun pabrik TBS untuk menghasilkan CPO atau biohidrokarbon sangat mungkin dilakukan.
“Contohnya petani bangun pabrik untuk hasilkan CPO dengan kapasitas 30 ton/jam, maka butuh pasokan TBS dari kebun dengan luasan sekitar 6000 hektar. Atau membangun pabrik mini cukup luasan 1000 hektar sangat mungkin dilakukan oleh kelembagaan petani,” ujar Rektor Instiper periode 2009-2019 ini.
Untuk mengulas kebutuhan pabrik sawit petani, pelaku industri dan petani dapat mengikuti Dialog Webinar bertemakan “Peluang Pengembangan Mini CPO Plant Bagi UMKM Sawit” yang diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), Jumat (14 Agustus 2020). Dialog ini rangkaian dari sesi dialog menyambut Hari Kemerdekaan RI ke-75 dan Hari Nasional UMKM pada 12 Agustus.
Purwadi mengatakan dengan aset nilai aset kebun petani nilainya Rp 80 juta/ha, maka aset kelembagaan bisa mencapai Rp 480 miliar atau kalau terhimpun 100 ha, akan mencapai Rp 80 miliar. Ini secara finansial bisa digunakan sebagai jaminan kredit membangun pabrik sendiri.
Ditambahkan oleh Purwadi bahwa sebetulnya, pertimbangan apa kok petani perlu membuat pabrik sendiri? Kalau kita lihat ini berawal dari perasaan petani kurang memperoleh harga yang berkeadilan dari pembagian nilai pada rantai pasok dalam sistem industri CPO, dan beberapa petani ingin buat pabrik sendiri untuk memperoleh tambahan nilai dari TBS yang dihasilkannya. Dengan tantangan tersebut, maka pendirian pabrik TBS oleh petani sebenarnya sebagai alternatif untuk memperoleh pembagian nilai yang berkeadilan dan atau upaya untuk meningkatkan nilai tambah.
Purwadi menjelaskan pengamatan di lapangan dinamika harga sangat dipengaruhi tiga faktor. (1) penawaran dan permintaan TBS di satu wilayah yang menyebabkan ketidak seimbangan daya tawar petani atau pabrik. (2) rumusan penetapan harga yang sudah perlu disesuaikan lebih disederhanakan, (3) belum tumbuhnya budaya kemitraan strategis yang saling membutuhkan dan saling menguntungkan.
Yang menjadi pertanyaan, apakah petani dengan kelembagaannya siap untuk membangun pabrik sendiri? Dikatakan Purwadi perlu kesiapan tiga faktor; pertama, teknologi yang “proven”, utamanya untuk mini plant (yang membutuhkan dukungan kebun sekitar 1000 ha. Kedua, kesiapan manajemen melalui SIM yang kredibel dan manajer professional. Ketiga, pengembangan kelembagaan petani yang kompak dan dapat dipercaya. Saat ini telah banyak didiskusikan dan ditawarkan teknologi miniplant, namun belum teruji, perlu diikuti perkembangannya dan kesiapannya. Saat ini telah tersedia teknologi melimpah yang memberikan flatform dan aplikasi SIM serta tumbuh generasi kedua petan sawit, orang muda berkebun dan berbisnis sawit.
“Saat ini juga telah tumbuh semangat baru petani untuk membangun kelembagaan petani yang kuat dan didukung oleh asosiasi petani yang dinamis yaitu Apkasindo. Kalau memang ingin, segera kaji, siapkan rencana dan segera ekskusi. Saatnya petani bertransformasi di usia kemerdekaan yang ke 75,” ujar Purwadi menutupnya di akhir pembicaraan dengan redaksi Sawit Indonesia.