Kebijakan Uni Eropa menghapuskan sawit sebagai bahan baku biofuel, akan berdampak negatif kepada pekerja dan petani. Jika ini terjadi, Eropa berpotensi melanggar prinsip Sustainable Development Goals (SDG’s).
Hal ini diungkapkan tiga pembicara yaitu Sumarjono Saragih (Ketua Bidang Ketenagakerjaan GAPKI), Nursanna Marpaung (Sekretaris Eksekutif Jejaring Serikat Pekerja/Serikat Buruh Sawit Indonesia), dan Irham Ali Saifuddin (Country Office ILO Indonesia dan Timor Leste), dalam Diskusi Forum Jurnalis Sawit yang bertemakan ” Membedah Peranan dan Kepatuhan Industri Sawit di Sektor Tenaga Kerja”, di Jakarta, pada pertengahan April 2019.
“Kami mengutuk tindakan EU (red- Europe Union/Uni Eropa) yang berencana menghentikan pembelian sawit dari Indonesia. Seharusnya Eropa tidak hanya melihat deforestasi. Tetapi pikirkan juga manusianya,” kata Nursanna Marpaung, Sekretaris Eksekutif Sekretaris Eksekutif Jejaring Serikat Pekerja/Serikat Buruh Sawit Indonesia (JAPBUSI).
Nursanna mengatakan kebijakan Eropa akan berdampak kepada keberlangsungan industri sawit terkait perlindungan sawit secara menyeluruh. Industri sawit di Indonesia berkontribusi bagi penyerapan tenaga kerja sebagai gambaran jumlah pekerja di perkebunan rakyat, swasta dan negara sebanyak 3,78 juta orang dan terdapat 2,2 juta petani. Total jumlah pekerja yang terlibat dalam rantai pasok sawit mencapai 16,2 juta jiwa.
“Oleh karena itu, kami mendukung upaya pemerintah dalam rangka melawan diskriminasi sawit di Eropa. Pemerintah harus bersikap tegas karena ini menyangkut nasib para pekerja yang menggantungkan hidupnya dari sawit. Anggota kami di JAPBUSI hingga 2 juta orang yang bekerja di sawit,” kata Nursanna.
Sumarjono Saragih, Ketua Bidang Ketenagakerjaan GAPKI, menjelaskan ancaman nyata yang dihadapi industri sawit lantaran tingginya tuntutan dan standar di pasar global. Ada enam tuduhan yang kerap dialamatkan yaitu status ketenagakerjaan, dialog sosial antara perusahaan dengan pekerja, keselamatan dan kesehatan kerja, mempekerjakan anak, upah yang minim dan lemahnya pengawasan pemerintah.
Isu negatif ketenagakerjaan jika tidak bisa diselesaikan akan membuat iklim investasi ikut meredup. Sumarjono menyimpulkan industri sawit berada dalam ancaman. Di satu sisi biaya operasional termasuk upah pekerja terus naik, tapi harga sawit fluktuatif dan produktivitas kebun cenderung stagnan.
Menurut Sumarjono, investor yang ragu masuk industri sawit karena penuh tekanan. Tekanan dalam industri ini antara lain terkait upah pekerja yang relatif tinggi dan terus naik setiap tahunnya, namun produktivitas justru stagnan di tengah harga sawit yang merosot. Sebagai contoh di Sumatera Selatan, upah pekerja perkebunan sawit sudah sekitar Rp3 juta per bulan tapi produktivitas tidak meningkat. Sementara itu, upah terus naik minimal 8 persen per tahun sehingga dalam 5 tahun akan ada kenaikan upah hingga 40 persen.
Dalam pandangannya, industri pasar sawit bisa turun jika sawit benar-benar dilarang masuk ke Eropa sehingga harga akan semakin turun. “Baru dihantam isu Eropa (sawit) sudah kewalahan. Ini juga belum termasuk masalah lingkungan dan pekerja yang menjadi senjata menyerang industri sawit,” ungkap Sumarjono.
Sumarjono menuturkan dengan kondisi yang terjadi seperti ini maka perusahaan sawit akan melakukan efisiensi yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK). “Ancaman PHK di depan mata. Industri sawit harus diselamatkan,” tegasnya.
Irham Ali Saifudin, Country Office ILO Indonesia dan Timor Leste, mengakui dalam jangka pendek serta jangka panjang akan berdampak kepada pekerja yang mencapai 16 juta pekerja. ini berpengaruh krn eropa termasuk pembeli utama. Oleh karena itu dia menyarankan perlu dibuat formulasi strategi yang baik untuk memperkuat aspek positif informasi sawit. Selain perlu juga industri menunjukkan itikad baik dalam rangka memperbaiki tata kelola perkebunan.
Dalam kesempatan terpisah, Kasdi Subagyono, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, berjanji bahwa pemerintah akan melindungi pekerja di industri sawit di kala Eropa memberikan tekanan. Dalam menghadapinya kita juga harus memperhatikan kesinambungan hubungan antar negara karena kita sudah punya. ‘UE Indonesia CEPA (Comprhensive Economic Patnership Agreement). Untuk itu masalah ini diangkat ke ranah WTO saja,” tambahnya.
Menurutnya, dalam ketentuan RED II yang memasukkan sawit sebagai tanaman yang sangat berisiko terhadap lingkungan sudah diundangkan sehingga tidak bisa diubah lagi.