Desakan penuntasan kebijakan tata ruang disuarakan kalangan pelaku usaha dan pemerintah daerah yang dirugikan dengan keterlambatan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). Ketidakpastian inilah yang berdampak buruk kepada pengembangan lahan perkebunan sawit terutama di provinsi-provinsi yang kebijakan tata ruangnya belum disahkan.
Suara Azmal Ridwan, Ketua GAPKI Kalimantan Timur, begitu tegas dalam menyuarakan rekomendasi terkait masalah tata ruang di ballroom Hotel Novotel Balikpapan pada pertengahan November 2012. Rekomendasi ini disampaikan kepada pemerintah yang diwakili Bambang Soepijanto selaku Direktur Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan, Budi Mulyanto Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional, Hendrajat Natawidjaja selaku Direktur Pasca Panen Kementrian Pertanian, Agus Tommy dari Kementerian Pekerjaan Umum. Pertemuan antara pelaku usaha dengan kementerian dan pemerintah daerah ini digelar dalam Workshop bertemakan “Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Nasional”.
Azmal Ridwan menegaskan implementasi Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 mengenai Penataan Ruang terkait penetapan tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten masih berjalan lambat karena sampai tahun ini saja masih banyak daerah yang belum menetapkan RTRWP maupun RTRWK. Sebagai solusinya, instansi terkait harus segera menuntaskan kebijakan ini sebagai acuan pembangunan dan alokasi ruang untuk kehidupan, yang dapat dijadikan dasar dalam penempatan perijinan, pemanfaatan ruang, dan administrasi pertanahan supaya dapat mendorong investor untuk berinvestasi.
Begitu pentingnya, kepastian tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten ini untuk segera diselesaikan mengingat pelaku usaha perkebunan dan pertambangan seringkali dihadapkan kepada status lahan dan kawasan hutan. Di Sumatera Utara, ada sebuah kasus menarik di mana Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan yang sudah ada semenjak zaman Belanda dan telah diperpanjang berulang kali, namun sekarang statusnya menjadi tidak pasti. Penyebabnya, Badan Pertanahan Nasional belum menerima kepastian dari Kementerian Kehutanan mengenai perubahan tata ruang di kawasan perkebunan tadi. Kasus penolakan perpanjangan HGU ini terkait dengan adanya SK Menteri Kehutanan Nomor 44/2005 tentang penunjukan kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara.
Budi Mulyanto, Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional, mengakui penolakan perpanjangan HGU ini merupakan dampak dari adanya aturan menteri tadi, akibat status kebun yang tadi APL sudah berubah menjadi kawasan hutan. “Jadi, kami mengikuti regulasi dari kementerian kehutanan tersebut,” papar Budi.
Berlarutnya masalah tata ruang di daerah memicu kasus konflik perkebunan yang melibatkan pelaku usaha dengan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, tidak hanya itu gesekan horisontal pun terjadi antara pelaku usaha dengan masyarakat. Timbas Prasad Ginting, Sekretaris GAPKI Sumatera Utara, menceritakan wilayah Sumatera Utara termasuk daerah yang RTRWP belum disahkan tetapi disana HGU areal perkebunan sawit dapat dikurangi oleh pemerintah daerah setempat. Alasannya, lahan berstatus HGU tadi digunakan bagi kepentingan umum seperti pelebaran jalan raya.
Di Kalimantan Timur, Sunamo selaku Direktur PT Hamparan Sentosa, mengeluhkan keterlambatan penetapan RTRWP di provinsinya mengakibatkan lahan petani plasma belum memperoleh penetapan status HGU. Imbasnya, perusahaan kesulitan mengajukan pinjaman kepada perbankan untuk membiayai perkebunan plasma tadi. Pasalnya, pihak perbankan menjadikan sertifikat HGU sebagai persyaratan utama memperoleh pinjaman.
Awang Farouk Ishak, Gubernur Kalimantan Timur, memaparkan konflik tumpang tindih lahan telah terjadi di provinsinya diantara sektor perekonomian strategis seperti pertambangan, perkebunan dan kehutanan. Untuk menghindari potensi konflik, lanjutnya, butuh kebijakan tepat dan komprehensif supaya sektor ekonomi tadi tetap berjalan asalkan tetap menghormati aspek lingkungan. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kalimantan Timur mencatat areal perkebunan yang mengalami tumpang tindih dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), luasnya sekitar 88.574 hektare. “Penyelesaian RTRWP dapat menjadi solusi untuk menekan konflik tumpang tindih lahan diantara sektor usaha,” kata Awang Faroek.
Rusmadi, Kepala Bappeda Kalimantan Timur, mengeluhkan dari aspek legalitas Kalimantan Timur sudah tidak memiliki RTRW mulai tahun 2006, bahkan hingga tahun 2012 tak kunjung diperoleh ketetapan hukum dalam RTRWP. Sulit bagi pemerintah daerah untuk mengundang investasi seperti kelapa sawit apabila status lahan tidak jelas. Upaya menyelesaikan tata ruang telah dijalankan pemerintah provinsi dengan mengundang 14 bupati untuk membahasnya. Hal ini bertujuan supaya menghindari perubahan rencana tata ruang di tiap kabupaten, sebab menurut Rusmadi keinginan setiap bupati merevisi tata ruang mesti diredam.
“Oktober 2011, kami ada kesepakatan 14 bupati dan walikota sepakat RTRWP yang ada. Kalau ada bupati yang tidak setuju masih dapat dilakukan uji parsial. Selama bicara tata ruang tetapi tidak menjaga konsistensi, maka akan menjadi percuma saja,” ujar Rusmadi.
Saat ini, baru 17 provinsi yang tercatat baru selesai RTRWP-nya dari total 33 provinsi, termasuk 148 kabupaten. Sisanya 16 provinsi masih dalam proses penyelesaian tata ruang.
Revisi RTRWP
Menyikapi keluhan pelaku usaha dan pemerintah daerah ini, Bambang Soepijanto, Direktur Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan, menjelaskan lambannya penuntasan revisi RTRWP juga diakibatkan tindakan bupati yang mengajukan perubahan terhadap RTRWP wilayahnya. Hal inilah yang terjadi di Kalimantan Timur di mana ada salah satu bupati yang meminta revisi ketika penilaian dari tim terpadu untuk Kalimantan Timur sudah berada di tahapan terakhir.
Kasus pelik terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, revisi tata ruang dilakukan secara total oleh gubernur baru, sehingga usulan dari gubernur lama ditarik kembali. Akibatnya, kerja tim terpadu yang setengah jalan menjadi sia-sia.
Berangkat dari kedua kasus tadi, Bambang Soepijanto menegaskan setiap usulan perubahan tata ruang berasal dari gubernur dan kepala daerah tingkat kabupaten atau kota. Jadi, tidak benar kalau dikatakan menteri kehutanan mengajukan revisi atau perubahan RTRW provinsi dan kabupaten. Setiap usulan yang masuk, akan diterima Kementerian Kehutanan yang pengkajiannya dilakukan melalui tim terpadu. Tim terpadu ini bersifat independen yang pembentukannya telah ditetapkan sesuai UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan.
Menurut Bambang, hasil studi dari tim terpadu tidak akan disetujui langsung oleh menteri kehutanan terutama yang sifatnya strategis dan mempunyai efek luas kepada masyarakat dimana akan DPR akan diminta persetujuan pula. Kalaupun daerah berpendapat kajian tim terpadu kurang sesuai maka mekanismenya menteri kehutanan akan merevisi lewat mekanisme perubahan parsial.
Azmal Ridwan berharap instansi terkait tata ruang dapat segera menyelesaikan RTRWP yang berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak. Dalam rekomendasinya, sebuah pertemuan khusus perlu dilakukan antara pengurus GAPKI pusat dengan Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Dalam Negeri yang membahas proses penyelesaian atas tanah yaitu HGU dan HGB, sehingga tidak bebani pelaku usaha.
Walaupun terlambat, pelaku usaha tetap yakin permasalahan RTRWP masih dapat segera diselesaikan oleh pemerintah. Namun, pemerintah diharapkan berani ambil tindakan dalam penuntasan tata ruang supaya program pembangunan nasional tidak terganggu. Seperti dikatakan, Achmad Mangga Barani, Ketua Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan, keterlambatan RTRWP ini jangan sampai membebani pelaku usaha dan investasi sehingga merugikan perekonomian nasional. Sebagai contoh, kebijakan revitalisasi perkebunan untuk kelapa sawit dapat terhambat akibat status lahan petani tak kunjung berstatus HGU sebagai dampak belum tuntasnya RTRWP. (Qayuum Amri)