Jika selama ini pabrik kelapa sawit (PKS) dipandang sebagai salah satu sumber penyebab emisi gas rumah kaca (Green House Gas) maka saat ini sebenarnya telah ditemukan solusi pengelolaan PKS yang dapat menekan efek gas rumah kaca tersebut. Jika PKS konvensional yang ada saat ini telah berusia sekitar lebih dari 100 tahun ,tepatnya PKS konvensional ditemukan sekitar tahun 1922 dengan memakai sistem sterilization (steam) untuk melunakkan jaringan serat sawit dan mematikan enzyme lipase sehingga memerlukan air dan energi dalam jumlah yang besar.
Teknologi konvensional ini sesungguhnya menyisakan persoalan lingkungan dan sustainability yang sering tidak terkelola dengan baik dan pada akhirnya menimbulkan persoalan hukum. Kondisi tersebut terjadi karena PKS konvensional menghasilkan limbah cair yang tinggi dan perlu pengelolaan yang extra hati-hati, seperti misalnya pembuatan dokumen AMDAL yang tepat hingga penempatan dan pengawasan kolam limbah yang juga tentunya memakan biaya yang cukup besar dan memerlukan areal pabrik yang besar dan tidak fleksibel ( mengingat ada kondisi tertentu yang harus dipenuhi seperti harus dekat dengan sungai misalnya).
PKS konvensional yang menghasilkan minyak sawit mentah (CPO) sebagai produk pengolahannya memerlukan proses tambahan dan memerlukan investasi teknologi ‘water washing’ guna menghilangkan atau setidaknya menurunkan kandungan Chlorine sehingga tentunya akan menyebabkan tambahan biaya produksi. Persoalan sebagaimana diuraikan diatas tersebut dapat diselesaikan sekaligus dengan model pabrik minyak kelapa sawit tanpa uap (model steamless). PKS steamless ini merupakan bentuk revolusi tehnologi terkini dan terbarukan dari pengelolaan PKS berkelanjutan (Pengelolaan PKS yang lestari) itu sendiri.
PKS steamless selain merupakan solusi ramah lingkungan untuk menjawab persoalan lingkungan, juga pada aspek lainnya biaya operasional PKS steamless (OPEX) lebih rendah dibanding PKS konvensional demikian juga PKS steamless akan menghasilkan yield yang lebih bagus dan lebih tinggi serta akan menghasilkan food grade dari olahan CPO yang lebih baik. Operasional PKS steamless ini sejalan dengan konsep green growth economy yang telah menjadi best practices bagi pengelolaan industri kelapa sawit.
Green Growth Economy
Dalam hal ini paradigma green growth economic dengan asas triple bottom line harus dituangkan dalam peraturan konkred sebagai parameter implementasinya di dalam masyarakat. Esensi dari green growth economic adalah restorasi, mengingat tidak mungkin dicapai kelestarian (sustainability) tanpa adanya restorasi (pemulihan lingkungan). Jadi dalam hal ini triple bottom line merupakan asas atau prinsip dasar dari green growth economic itu sendiri. Dapat dikatakan dalam hal ini bahwa paradigma green growth economic dijabarkan dalam tiga asas yang tercantum dalam triple bottom line sebagaimana disepakati dalam Konvensi Yohannesburg pada tahun 2002.
Triple bottom line yang mendasari paradigma green growth economic terdiri dari unsur people, profit dan planet. People, artinya bahwa tidak boleh ada eksploitasi manusia pada pemanfaatan sumberdaya alam karena pada esensinya pemanfaatan sumber daya alam harus dapat dipergunakan untuk kesejahteraan sebanyak mungkin manusia. Planet, artinya pemanfaatan sumberdaya alam tidak boleh merusak lingkungan atau menyebabkan penurunan kualitas lingkungan (degradasi lingkungan). Pada aspek planet inilah terletak esensi restorasi lingkungan dari pemanfaatan sumberdaya alam, jadi dalam paradigma green growth economic, bahwa sumberdaya alam tidak sekedar dieksploitasi tetapi juga dibarengi dengan tindakan restorasi sebagai bentuk pemulihan kualitas lingkungan. Aspek ini mewakili pemaknaan istilah ‘green’ dalam paradigma green growth economic.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 128)