Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berupaya membenahi tata kelola sawit yang menjadi komoditas unggulan Indonesia. Salah satunya menyoroti regulasi di daerah yang membebani dunia usaha.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempersilakan dunia usaha untuk melaporkan aturan yang membebani dan memberatkan mereka. Salah satu rekomendasi KPK adalah membenahi perizinan dan regulasi di daerah.
“Silakan laporkan kepada kami kalau ada ketidakjelasan (aturan) di daerah,” ujar Sulistyanto Ketua Tim Koordinasi Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Sawit, dalam dialog Akhir Tahun Majalah SAWIT INDONESIA bertemakan “Membenahi Tata Kelola Sawit Nasional”, pekan lalu di Jakarta.
Menurutnya, persoalan ketidakjelasan regulasi di daerah maupun pungutan yang memberatkan dunia usaha akan menjadi perhatian lembaganya. Dalam temuan KPK, terjadi pengendalian izin tidak efektif (kasus tumpang tindih lahan) dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sejauh ini tidak ada koordinasi antar pemerintah daerah dengan Kementerian/Lembaga dalam proses penerbitan dan perizinan.
Untuk itu, KPK membentuk 9 Koordinator Wilayah (Korwil) di 34 Provinsi. Pembentukan korwil ini erat kaitannya untuk menjerat kepala daerah dalam kasus tindak pidana korupsi.
Salah satu tugas Korwil, kata Sulistiyanto, mengawasi berbagai aturan di daerah termasuk ketidakjelasan penerapan di satu daerah. Sebagai contoh, ada peraturan gubernur di Kalimantan Tengah yang direkomendaikan supaya direvisi. “Yang saya tahu Kalimantan Tengah menerbitkan Pergub dengan tujuan pembangunan daerah. Tetapi kami belum tahu, apakah (retribusi) dikembalikan kepada pembangunan daerah atau tidak,” ujarnya.
Seperti diketahui potensi besar yang ada pada industri sawit perlu dijaga dan terus dikembangkan dengan tata kelola yang baik agar dapat menjadi kemakmuran rakyat sesuai undang-undang. Untuk itu, KPK sebagai Lembaga non pemerintah juga turut berkontribusi melalui kajian sebagai upaya penyelamatan sumber daya alam (SDA) Indonesia.
Hasil kajian terdapat tiga temuan, yaitu sistem pengendalian dalam perizinan perkebunan kelapa sawit belum memadai dan akuntabel untuk memastikan kepatuhan pelaku usaha, tidak efektifnya pengendalian pungutan ekspor komoditas kelapa sawit, dan, tidak optimalnya pungutan pajak sektor kelapa sawit oleh Ditjen Pajak.
Hasil analisis KPK tidak ada mekanisme perizinan yang berbasis tata ruang yang efektif untuk mengendalikan usaha perkebunan kelapa sawit. Peraturan perizinan di sektor kelapa sawit belum mengatur secara efektif, koordinasi antar lintas lembaga dalam pengendalian izin di sektor perkebunan.
KPK mengapresiasi upaya dari Kementerian Pertanian khususnya Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) telah meluncurkan Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (SIPERIBUN) sebagai upaya perbaikan tata kelola perkebunan. SIPERBUN mempunyai tiga fungsi utama, yaitu integrasi data, instrumen pembinaan dan pengawasan perizinan usaha perkebunan, serta fasilitasi koordinasi dan informasi bagi kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan masyarakat.