Sebelumnya di dalam menetapkan kawasan bergambut sebagai kawasan lindung tidak hanya ditentukan oleh ketebalan gambut saja. Faktor lain yang menentukan adalah juga abahan tanah mineral yang berada di bawah gambut. Biarpun gambutnya tipis (misalnya ketebalan gambut <3,0 m), tetapi bila dibawah gambut itu adalah pasir kuarsa, seperti banyak ditemukan di Kalimantan Tengah, maka endapan gambut seperti ini sebaiknya tidak masuk sebagai kawasan budidaya. Hal ini disebabkan potensi dari endapan gambut tersebut, baik untuk usaha pertanian maupun untuk kegiatan usaha lainnya, sangat rendah.
Pusat kubah gambut merupakan endapan gambut yang paling kritis, karena volume air yang berada di bawah gambut (pusat kubah) sangat tinggi. Kalau pusat kubah ini terganggu oleh pembuatan saluran dan pembukaan hutan, maka air yang berada di bawah gambut akan dengan cepat keluar, dan gambut dengan cepat pula teroksidasi/terdekomposisi, sehingga pusat kubah gambut menjadi cekung yang akhirnya daerah tersebut akan menjadi tergenang. Jadi sebernya yang harus dikonservasi menjadi kawasan lindung adalah endapan gambut yang berada di pusat kubah. Namun demikian, yang masih menjadi kesulitan adalah dalam menentukan batas yang tepat areal pusat kubah gambut, ini sangat tergantung dari bentguk permukaan bahan tanah mineral dibawah gambut.
Terkait dengan kelembagaan formal, perlu ada kajian khususuntuk mengembangkan lahan gambut secara dinamis berdasarkan wilayah fungsional ekosistem lahan gambut. Sebab banayak dijumapai pada suatau hamparan gambut dengan wilayah fungsional ekosistem yang sama berada dalam adminitrasi yang berbeda. Dalam sistem penataan ruang sat ini di Indonesia, seperti tercermin dalam UU No. 24/192 tentang Penetaan Ruang yang kemudian disempurnakan dalam UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang yang baru, cenderung masih bersifat bias adminitratif, dan masih adanya benturan dengan peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah. Dengan demikian penataan ruang yang berbasis pada keseimbanagan anatar kepentingan ekonomi, sosial dan ekologi, dengan didasarkan pada pendekatan wilayah fungsional ekosistem gambut yang bersekala makro dan mikro dengan memperhatikan unsur-unsur kekayaan keanekaragaman sumber daya hayati in-situ, menjadi sangat di perlukan.
Salah satu unsur penting dalam penataan ruang wilayah fungsional ekosistem gambut, adalah disain spasial struktur jaringan drainase. Belajar dari pengalaman sebelumnya, sistem jaringan drainase harus didesain berdasarkan pada azas kehati-hatian dengan memperhatikan karakteristik ekosistem gambut. Pengembangan sistem drainase pola grid (sistem terbuka) sering mendatangkan bencana banjir dimusim hujan dan kekeringan dimusim kemarau. Stuktur jaringan drainase harus didesain sedemikian rupa agar meminimalkan akses interaksi manusia secara langsung kekawasan yang harus dilindungi.
Sumber: Desain Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Mendukung Produktivitas Pertanian Berbasis Perkebunan, Prof. Dr. Supiandi Subiham