Indonesia optimis usulan Parlemen Uni Eropa tidak akan disetujui anggota Uni Eropa. Pasalnya, resolusi ini melanggar sejumlah aturan GATT dan WTO.
Pradnyawati, Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan RI, menjelaskan bahwa sebelum RED II yang diusulkan Parlemen Uni Eropa untuk menghapuskan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel pada 2021 di kawasa Uni Eropa. Sudah ada kebijakan RED I yang bersifat diskriminatif kepada sawit. RED I menyebutkan bahwa minyak sawit tidak memenuhi ambang batas penghematan emisi karbon , ada default value menurut RED I untuk minyak sawit hanya 19%, jauh dari ambang batas sebesar 35%.
Upaya menghambat minyak sawit kembali dilakukan Uni Eropa melalui anggota parlemennya. Dalam presentasi berjudul EU RED II Dan Resolusi EU Dari Sudut Ketentuan WTO Dan Solusinya, Pradnyawati, menjelaskan bahwa Parlemen Eropa mengajukan resolusi masuk ke dalam Draft RED II Recital 25a. Dalam resolusi disebutkan Parlemen Eropa sepakat menghapuskan penggunaan minyak nabati sebagai komponen dari Biofuel pada tahun 2030, dan khusus untuk minyak sawit pada tahun 2021.
“Kementerian Perdagangan juga menjalankan diplomasi dan mengirimkan surat kepada Komisi Uni Eropa. Mendag RI mengirim surat kepada Komisioner Uni Eropa pada 7 Desember 2017 berkaitan Hasil Voting Parlemen bulan Oktober terkait Recast RED,”kata Pradnyawati dalam Seminar bertemakan “Renewable Energy Directive II dan Usulan Kebijakan EU Untuk Menghilangkan Penggunaan Minyak Sawit Dari Energi Terbarukan”, di Bogor, 24 April 2018.
Kementerian Perdagangan RI Mengangkat Isu RED pada Sidang Reguler Committee WTO’s Committee on Technical Barriers to Trade (TBT) pada sidang reguler pada 20-22 Maret 2018. Pradnyawati menjelaskan dalam sidang ini, Indonesia menyatakan keberatan karena adanya ketentuan yang mendiskriminasi minyak kelapa sawit dibandingkan dengan minyak nabati lain seperti minyak bunga matahari dan rapeseed.
Selain itu, UE menanggapi bahwa draft amandemen yang dikeluarkan oleh parlemen Uni Eropa tersebut tidak ditujukan untuk melarang penggunanan minyak sawit sebagai bahan baku biofuels, namun mulai tahun 2021 penggunaan bahan baku minyak sawit dalam biofuel tersebut tidak akan diperhitungkan dalam target energi terbarukan di Uni Eropa.
Pradnyawati menjelaskan bahwa resolusi Uni Eropa melanggar General Agreement on Tariff and Trade (GATT) terkait prinsip non-diskriminasi yaitu Artikel I : MFN (Most Favoured Nation) dan Artikel III:4 National Treatment. Serta, Article XI:I on General Elimination of Quantitative Restrictions dan Article XIII on Non-discriminatory Administration of Quantitative Restrictions. Dalam Article XIII ini dijelaskan selain bea masuk, pajak atau pengenaan biaya lain, tidak boleh ada pelarangan atau pembatasan yang diberlakukan bentuk kuota, lisensi impor dan ekspor, atau ketentuan lainnya. Dimana hal tersebut harus diberlakukan terhadap barang sejenis yang diimpor dari semua negara.
Adapula pelanggaran Komite WTO untuk Technical Barriers to Trade. Bahwa pelarangan Palm Oil Biofuel melanggar prinsip non-diskriminasi : Artikel 2.1; 5.1 dan annex 3 (D) (Code of Good Practice For The Preparation, Adoption and Application of Standard). Dan Artikel 2.2 dinyatakan bahwa regulasi yang diterapkan bertujuan untuk melindungi kelestarian lingkungan, harus memiliki scientific evidence. Pradnyawati menerangkan EU harus memiliki scientific evidence yang membuktikan bahwa Biofuel berbahan baku minyak sawit memberikan dampak kerusakan yang lebih parah daripada biofuel berbahan baku minyak nabati lainnya.
Peluang Indonesia
Oleh karena itu, pihak Indonesia optimis Resolusi Parlemen Eropa belum mengikat secara hukum untuk menjadi keputusan seluruh negara Eropa. Ini berarti, Indonesia punya peluang untuk mengalahkan usulan parlemen tersebut.
Peluang ini terungkap dalam Seminar Sehari bertemakan “Renewable Energy Directive II dan Usulan Kebijakan EU Untuk Menghilangkan Penggunaan Minyak Sawit Dari Energi Terbarukan”, di IPB Convention Center, Bogor, Selasa (24 April 2018). Seminar ini menghadirkan pembicara antara lain Eddy Esselink (MVO Belanda), Steven Gust ((Neste Oil), Mahendra Siregar (Direktur CPOPC), Ditya Agung Nurdianto, Ph.D, (Kepala Subdirektorat Pertanian dan Pengembangan Komoditas Kementerian Luar Negeri), dan Fadhil Hasan (Ketua Bidang Luar Negeri GAPKI).
Rosediana Suharto, Direktur Eksekutif Responsible Palm Oil Initiatives (RPOI) mengatakan ada perbedaan prinsip antara Indonesia dan pihak Uni Eropa mengenai definisi phasing out atau pengurangan pemakaian sawit sebagai sumber energi terbarukan. Dalam perspektif Indonesia, istilah phasing out sama memboikot minyak sawit masuk ke Eropa.
“Tetapi Eropa pandangannya berbeda. Phasing out ini minyak sawit tetap bisa masuk Eropa. Namun, penggunaan biodiesel sawit tidak dimasukkan dalam target pengurangan gas emisi karbon mereka. Disinilah, kita ingin minta kejelasan mereka,” ujar Rosediana.