Industri sawit tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri. Peranannya sebagai penyumbang devisa nomor dua setelah minyak dan gas,maka dibutuhkan undang-undang tersendiri yang mengatur kepentingan industrinya. Firman Soebagyo menginisiasi RUU Perlindungan sawit yang akan diajukan pada prolegnas 2016.
Firman Soebagyo, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dan Anggota Komisi IV, mengusulkan perlunya RUU Perlindungan Kelapa Sawit karena komoditas ini punya makna besar. Posisi sawit termasuk salah satu subsektor industri pertanian yang memberikan kontribusi terbesar terhadap sumber pendapatan negara setelah migas. Komoditsa strategis seperti sawit ini butuh kehadiran negara dalam arti harus ada perlindungan kepada komoditas strategis ini.
Lebih lanjut, kata Firman, RUU memberikan payung hukum kuat kepada sektor komoditi strategis sesuai amanat konstitusi dalam pasal 33 UUD 1945 bahwa sumber kekayaaan alam dikuasai negara dan dikelola sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat. Alasan kuat mengapa saya tegas membuat RUU supaya Indonesia tidak terkecoh perjanjian bilateral dan internasional yang didesain kelompok tertentu untuk menghancurkan persawitan nasional.
“Sebagai contoh, deklarasi IPOP ditandatangani 5 perusahaan menuai protes. Sejumlah petani datang ke DPR untuk memprotes IPOP lantaran TBS mereka tidak diterima. Gara-gara standar IPOP. Padahal, IPOP bukanlah produk hukum inilah yang melandasi gagasan saya membuat RUU ini,” ujarnya.
Firman mengkhawatirkan deklarasi IPOP bisa mematikan industri sawit sebagaimana kebijakan moratorium pemerintah masa lalu, artinya sawit tinggal menunggu kehancuran. Dalam pandangannya, dunia internasional memainkan strategi untuk mematikan industri komoditas yang strategis. Sebut, saja ratifikasi tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang berpotensi mematikan pendapatan petani dan industri tembakau. Sumbangan industri tembakau kepada pemasukan negara mencapai Rp 200 triliun.
Di kelapa sawit, kepentingan internasional sangat nyata dalam kebijakan moratorium pada masa pemerintahan SBY. Janji kompensasi sebesar US$ 1 miliar ini pada kenyatannya tidak jelas nasibnya hingga sekarang. Menurut Firman, anggota DPR berpandangan sangat berbahaya kepentingan dunia internasional terhadap komoditas strategis makanya harus dilindungi dengan regulasi.
Pembuatan undang-undang ini,kata Firman, menjadi kewenangan DPR dengan pertimbangan banyak industri strategis yang akan mati. Khususnya mengenai IPOP ini menunjukkan pemerintahan sebelumnya memberikan karpet merah terjadinya kartelisasi dan monopoli terselubung melalui deklarasi tadi.
“Sangat disayangkan peranan KADIN yang memfasilitasi IPOP. Untuk itu, sudah jelas KADIN harus mempertanggungjawabkan tindakannya karena KADIN sebagai wadah pengusaha nasional. Di sisi lain malahan mendukung IPOP. Padahal, ini bentuk kartelisasi apabila industri pertanian mengalami kartelisasi tinggal tunggu kehancuran,” jelas Firman.
Poin ini sangatlah penting untuk kami sampaikan dalam RUU ini. Firman menyebutkan RUU ini akan disampaikan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016 supaya pemerintah memberikan kepastian dalam bentuk payung hukum. Dengan begitu dapat mengantisipasi dan melindungi sawit dari kampanye hitam Uni Eropa.
Menurutnya, Uni Eropa khawatir dengan pertumbuhan minyak sawit yang mampu bersaing dengan minyak nabati lain dari zaman ke zaman. Dan pihaknya ingin berikan perlindungan kepada petani karena luas lahan sawit 10,9 juta hektar dimana sekitar 40 persen milik petani .
(Selengkapnya baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi Oktober-November 2015)