Indonesia masih memenuhi kebutuhan katalisnya sekitar 90% dari luar negeri. Nilai impor katalis sekitar US$2,85 triliun atau US$190 juta setiap tahun.
“Inovasi katalis yang dihasilkan ITB sangatlah penting. Indonesia ini harus impor katalis sekitar 90% dari negara lain seperti Jerman, Cina, India, dan Amerika Serikat. Kami ingin Indonesia memenuhi katalis sendiri, tidak bergantung kepada negara lain,” ujar Kepala Laboratorium TRKK ITB Dr. Melia Laniwati Gunawan saat menerima kunjungan media pada 31 Januari 2024.
Melia Laniwati menuturkan inovasi katalis yang dihasilkan Tim Peneliti ITB (Institut Teknologi Bandung) menjadi loncatan besar bagi pengembangan bioenergi dan sektor industri di Indonesia. Karena itulah, jumlah dan kebutuhan katalis ini ribuan karena menyesuaikan kebutuhan industri itu sendiri. Bentuknya juga beragamada yang seperti serbuk dan pellet.
Melia menuturkan katalis ini bukan seperti komoditas dan bahan baku akibatnya harga dari elemen hasil rekayasa kimia itu menjadi tinggi, bahkan bisa menjadi daya tawar kepada Indonesia. Kalangan industri Indonesia harus memikirkan apa bila terjadi embargo katalis karena akan berdampak kepada industri.
“Jika negara-negara penghasil (katalis) melakukan embargo. Karenanya menjadi sangat penting Indonesia bisa memproduksi sendiri katalis ini,” ucapnya.
Anggota Tim Pengembang Katalis PRK ITB lainnya Profesor Dr. Ir. IGBN Makertihartha mengungkapkan bahwa masih banyak kegiatan dan usaha yang harus dikerjakan agar teknologi katalisis dan proses produksi bahan bakar nabati dari sawit ini dapat diterima dan dikembangkan hingga skala komersial dan diterima oleh masyarakat Indonesia hingga memiliki keekonomian lebih layak.
“Dan rumah bagi banyak sekali sumberdaya alam minyak nabati, misalnya kelapa, nyamplung, kemiri sunan, malapari, biji karet, biji kapok, dan lain sebagainya, termasuk minyak jelantah,” kata Makertihartha seperti dilansir Antara.
Tetapi, dikatakan Makertihartha, usaha pengembangan dan hilirisasi hasil penelitian dalam bidang katalis untuk proses produksi bahan bakar nabati ini, harus pula disertai dengan kegiatan-kegiatan lain terkait dengan studi keberterimaan produk, studi pasar, diskusi dan premis tentang kebijakan yang berpihak pada petani dan produk bahan bakar nabati.
Mengutip dari situs ITB, katalis adalah bahan yang mampu mempercepat reaksi kimia hingga triliunan kali lipat dan mengarahkan reaksi kepada produk yang diinginkan. Bahan tersebut banyak digunakan dalam rekayasa reaksi kimia. Hampir 90 persen proses industri kimia melibatkan katalis.
Artinya katalis sering menjadi “kunci” untuk berbagai industri, mulai dari industri kimia, industri pengolahan/pengilangan minyak dan gas, hingga industri energi baru terbarukan berbasis biomassa dan minyak nabati.
Kepala Center for Catalysis and Reaction Engineering Institut Teknologi Bandung (CaRE ITB), Prof. Dr. Ir. Subagjo, yang adalah ketua tim inventor Katalis Merah Putih, pada tahun 1976 melanjutkan pendidikan di Universite de Poitiers, Perancis, dan mendalami bidang katalis. Pada tahun 1981, Prof. Subagjo kembali ketanah air dan setahun berselang, beliau bersama Prof. Sudarno menggunakan katalis zeolit untuk proses perengkahan (cracking) stearin, produk samping pabrik minyak goreng untuk menghasilkan bahan bakar minyak seperti bensin. Namun, penelitian dan pengembangan bensin dari stearin tidak dapat dilanjutkan karena dukungan dana penelitian serta keekonomiannya yang masih sulit diterima industri.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 148)